Recent Post

Lewat Twitter


“Cinta tidak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan, itulah keberanian atau mempersilakan.”
(Ali bin Abi Thalib)

Kutipan tersebut seakan menjawab keraguanku selama ini kepada seorang pria, sebut saja ia Rizal, orang yang telah membuat air mataku jatuh tanpa ia ketahui. Benar kata sebuah anomin bahwa; “Kita tidak akan tahu kapan, kepada siapa dan bagaimana mungkin kita bisa jatuh cinta..” dan itu terjadi padaku.
Aku tidak pernah membayangkan sebelumnya bahwa aku akan menyukai Rizal yang tidak lain adalah orang terdekat sahabatku selama ini. Bagaimana mungkin aku menyukai seseorang yang sudah lama tidak bertemu? Tapi kenyataannya orang tersebut merasakan hal yang sama denganku? Ya, aku dan Rizal memang sudah lama tidak bertemu, mungkin sekitar dua tahun lebih tapi kami sering berkomunikasi lewat sebuah jejaring sosial: TWITTER.

Mungkin karena itulah perasaan di antara kami mulai muncul, tapi apakah semudah itu cinta hadir dalam diri seseorang?
Aku tahu Rizal telah mempunyai seorang pacar, namun selama ini aku merasa komunikasi di antara kami dalam taraf yang wajar sebatas teman. Aku memang sudah menyukai Rizal saat itu, tapi aku tidak berharap untuk dapat menjadi pacarnya karena aku tahu pacaran adalah hal yang dapat mendekati zina. Namun semuanya berubah ketika tiba-tiba Rizal mengungkapkan perasaannya padaku. Aku malah merasa senang, bahagia dan lupa ada seorang wanita yang tersakiti, Yuna, kekasih Rizal.
Cinta memang buta, tapi aku punya mata, karena itu aku tak lantas menerimanya. Aku berupaya menganggapnya sebagai lelucon. Tapi usaha Rizal dalam meyakinkanku bahwa ia bersungguh-sungguh akhirnya memaksaku untuk menjawab. Aku menolaknya. Bukan karena Yuna, aku benar-benar telah lupa akan keberadaan Yuna, tapi karena hatiku ragu dan prinsipku untuk tidak pacaran.
Semenjak itu aku & Rizal kehilangan komunikasi, tak lama. Sebulan kemudian dia menghubungiku lewat ponsel, mengirim sms sekedar tanya kabar dan hal tak penting lainnya. Ku pikir Rizal telah putus dari Yuna itu sebab ia kembali menghubungiku.

Komunikasi di antara kami pun kembali terjalin. Hubungan kami yang sempat beku, kini sudah mencair.
Sampai suatu hari kami tak sengaja bertemu di sebuah pusat perbelanjaan kota.
“Kenapa dulu kamu menolakku La?” Tanya Rizal tiba-tiba dengan ekspresi kekecewaannya.
“Aku hanya tidak mau berpacaran.” Jawabku.
“Tapi kita bisa ta’arufan?”
“Bagaimana dengan Yuna? Lagi pula kenapa harus aku? Cari saja yang lain.”
“Karena aku sayang sama kamu. Aku mau kamu, tidak yang lain.” Tegas Rizal.
“Tidak adakah hal lain yang membuatmu menyukaiku? Lalu Yuna bagaimana?”
Rizal terdiam sesaat kemudian menatapku, “kamu baik, cantik itu yang aku suka..”
Mendengar jawaban Rizal membuatku sedikit tersanjung hingga hatiku luluh. Tapi kenapa Rizal tak menjawab pertanyaanku tentang Yuna untuk yang ke dua kalinya? Apakah mereka memang telah putus, sehingga Rizal tak mau membahasnya lagi?
“Gimana La?” tanyanya lagi.
“Entahlah, nyatanya apa yang kamu rasa aku juga rasa.”
“Benarkah?” Rizal tersenyum.
“Aku harus pulang,” kataku sengaja mengalihkan pembicaraan.
“Aku antar ya?”
“Tidak usah, aku bawa mobil sendiri.” Aku pergi meninggalkan Rizal begitu saja.
Hati memang tidak bisa dibohongi, aku menyukai Rizal. Dan Rizal mungkin telah mengetahui perasaanku yang sebenarnya dari jawabanku waktu itu. Kami memang tidak berpacaran, namun Rizal berjanji ia akan setia menungguku di batas waktu.
Rizal sering memberikan perhatiannya padaku melalui sms karena kami jarang bertemu. Aku senang dengan perhatian yang Rizal berikan, namun aku tak membalas semua perhatiannya dengan sms yang sama. Aku mengungkapkan perhatian dan kasih sayangku yang belum halal kepadanya melalui doa di hampir setiap shalat fardu. Bagiku perasaan cinta tak perlu diumbar hanya agar dia tahu bahwa dialah satu-satunya, melainkan cukup Tuhan yang tahu bahwa aku tulus menyayanginya.
Suatu hari aku buka akun twitterku, dan aku melihat foto yang di upload Rizal beberapa jam lalu. Foto tersebut bergambar ia dipeluk seorang artis wanita, aku tahu artis itu idolanya tapi aku tidak suka pose mereka berdua, aku merasa itu berlebihan. Hatiku sakit dan cemburu. Namun kecemburuanku aku tahan, aku sadar bahwa aku bukanlah siapa-siapanya Rizal.
Ya Tuhan bagaimana aku bisa mempercayainya, jika belum apa-apa dia telah membuatku terluka?
Air mataku tak kuasa ku bendung, ketika itu juga segera aku log out, sejurus kemudian ku matikan laptopku. Tiba-tiba ponselku bergetar, sebuah pesan masuk dari Rizal.
Rizal : selamat malam..  lagi apa la?
Aku: gk lg apa2. Knp?
Rizal: lho ko jutek sih. Aku slh apa?
Aku: gak ada.
Rizal: owh ya udah deh..
Apa? Ya udah? Hanya itu balasannya? Menyebalkan, pria ini sungguh tidak peka dengan sikap yang ku tunjukan. Ya Tuhan, aku harus bagaimana sementara aku tidak bisa menahan kecemburuanku, maka aku membalasnya.
Aku : bagiku setia itu mudah, hanya saja aku tidak bisa menahan kecemburuanku.
Sedikit lama akhirnya Rizal membalas: tapi aku percaya sm km ko La 

Aku terseyum sinis membaca balasan sms terakhir dari Rizal. Dia sama sekali tidak memahamiku, inikah yang dia maksud sehati? Betapa bodohnya aku yang mudah terbuai dengan bujuk rayunya. Dulu kami memang sering bertukar fikiran sebelum perasaan di antara kami muncul. Obrolan kami nyambung, karena itu aku merasa nyaman. Rizal sering menjadikan alasan kecocokan ini sebagai bukti bahwa aku dan dia memang sehati, sepemikiran. Aku tak percaya begitu saja, aku sering mengelak dengan mengatakan bahwa itu hanya kebetulan. Tapi Rizal punya seribu cara untuk membuatku luluh dan tak bisa mengelak lagi. Suatu hari kami pernah terlibat pembicaraan di telefon.
“Apa kamu masih menungguku?” Tanyaku tiba-tiba sembari mengalihkan handphone dari telinga kiri ke telinga kanan.
“Tentu saja. Memangnya kenapa?” Rizal balas bertanya.
“Mungkin perasaanmu hanya perasaan sesaat. Lebih baik mundur saja..” Lirihku ragu.
“Tak ada yang namanya perasaan sesaat, lama kelamaan semua akan terakumulasi menjadi sebuah perasaan yang sesungguhnya.”
“Tapi penantianmu tidak pasti, bukan satu atau dua bulan melainkan beberapa tahun. Aku tidak yakin kamu akan sanggup. Mundurlah!”
“Kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi satu atau dua bulan ke depan, tapi setidaknya kita sudah berencana.” Rizal keukeuh.
Setidaknya? Itukah jawaban dari seorang pria? Pria macam apa dia yang tidak punya komitmen dan penuh dengan ketidak pastiaan? Tidakkah dia faham bahwa aku hanya takut suatu saat akan kehilangan cintanya? Bukankah tidak ada cinta yang abadi selain cinta Allah terhadap hamba-Nya dan cinta orang tua terhadap anaknya? Itulah sebab aku memintanya untuk mundur, aku hanya tidak ingin larut dalam kekecewaan ketika pada akhirnya kami tidak berjodoh..
“Ya sudahlah terserah..” Lagi-lagi aku tak bisa mengelak.
“Oke, kalau begitu sudah dulu ya aku tutup telefonnya. Wassalamuaikum..” Suara Rizal di seberang sana terdengar seolah bahagia entah karena apa, tapi aku merasa itu bukan karena ku.
“Wa’alaikum salam..”
Aku tidak mengerti mengapa rasanya sulit sekali untuk membuat Rizal menyerah. Mungkin karena tiada hubungan yang mengikat di antara kami berdua, sehingga tak ada pula yang bisa ku-Putus-kan.
Kadang aku merasakan ketulusannya, sehingga aku berfikir dia memang bersungguh-sungguh. Tapi aku bingung, aku tidak mau menginkari prinsipku sendiri. Dan lagi aku benci terhadap sifat flamboyannya Rizal. Apa yang dia katakan terhadapku sungguh bertolak belakang dengan kenyataan yang diperbuatnya. Sering sekali dia bertingkah di akun twitternya, saling bermention dengan perempuan lain dengan percakapan yang mesra. Mungkin dia fikir aku tidak mengetahuinya. Sehingga dengan mudahnya dia berkata akulah satu-satunya perempuan yang diinginkannya. Padahal aku tahu bagaimana sikapnya terhadap perempuan lain, aku baca kata-kata romantis yang dia mention terhadap perempuan lain, aku tahu dia sering ber-sms, bertelfonan dengan perempuan lain dari tweetnya. Tapi kenapa lagi-lagi aku tidak berdaya dengan rayuannya terhadapku? Dan aku benci akan ketidak berdayaanku itu! Dia benar-benar telah mempermainkanku! Puncaknya adalah saat aku mengetahui bahwa dia dan Yuna ternyata belum putus! Aku mengetahui hal itu, ketika tidak sengaja aku membaca tweet Yuna, di akunnya dia menulis :@yunaamara: Aku paling tdk suka kamu saling bermention dg perempuan lain, apalagi dg “LAILA” yg tdk berperasaan!!
Laila? Jelas sekali itu namaku, yang dia maksud memang aku Laila.

Dadaku sesak, terasa sakit! Ya Tuhan apa yang telah aku lakukan terhadap Yuna? Mengapa aku bisa setega ini bermain api dengan dia, pria yang jelas-jelas milik orang lain? Aku benar-benar merasa bersalah, maafkan aku Yuna..

Sehari setelah kejadiaan itu, ku putuskan untuk mengirim email pada Yuna lewat pesan di twitter. Aku ingin meminta maaf dan berbicara baik-baik padanya bahwa tidak ada hubungan apapun antara aku dan Rizal. Aku tidak mau diliputi perasaan bersalah ini, sungguh pun aku tidak mengira aku akan mengalami kisah cinta serumit ini. Sekarang juga aku akan mengakhiri ini semua.
From: laila_asyifa
To: yunaamira
Assalamu’alaikum yuna..
Maaf sebelumnya, aku hny ingin menjelaskn secara baik2 sm kmu. Tapi aku mohon km jgn marah dulu ya, please.. Ini ttg Rizal.
Aku gk sngaja baca tweet km yg menyinggung aku, bhw km gk suka dg kedekatan aku dan Rizal. Sungguh sbg sesama perempuan aku tahu bgaimana perasaan km, aku mengerti aku sdh kterlaluan, tp sungguh antara aku dan Rizal tdk ada hubungan apapun, kami memang sdh dekat sejak dulu krn kami sdh brteman dr SMP. Krena itu dg krndahan hati semata2 karena Allah, aku minta maaf atas sikapku yg sdh kterlaluan ini.. Aku harap sudilah kiranya km berlapang dada untuk mau memaafkanku jg smata2 krena Allah Swt.
Aku janji tdk akn mengganggu hubungan kalian lg..
Mohon maafkan ya 

Setelah mengetik email tersebut aku memberanikan diri segera mengklik tombol send. Dan beberapa detik kemudian pesan delivery muncul, emailku sudah terkirim! Tiba-tiba aku cemas, takut Yuna tidak mau memaafkanku. Ku tunggu hingga satu jam tak juga ada balasan. Ku putuskan untuk log out saja.
Besoknya aku buka aku twitterku, dan kuperiksa inbox ternyata ada balasan dari Yuna. Ragu-ragu aku membukanya.
From: yunaamira
To: laila_asyifa
Wss..
Iya la, udah aku maafin ko dr dulu jg  sbnrnya aku jd ragu sm Rizal, aplg aku gk bs lupa sm kejadian yg wktu taun baru itu.. Mm dsni susah sinyalnya. Kalau mau cerita2 ttg Rizal, sms aku aja ya. Ini no aku : 085332XXXXXX
Kejadian tahun baru? Maksudnya apa? Ah sudahlah.
From: laila_asyifa
To: yunaamira
Makasih ya yun
gak ada yg pngen aku ceritain ko, aku gk mw rusak hub kalian. Yg sbr aja ya yun, Allah pasti kasi pria yg tbaik buat km, siapapun itu 
Yuna membalas.
From: yunaamira
To: laila_asyifa
Aamiin, sama sama la 

Setelah meminta maaf pada Yuna, ada seperti angin sejuk yang melegakan dadaku. Setidaknya aku tidak akan terus dihantui dengan rasa bersalah karena Yuna sudah memaafkanku.
Sekarang aku benar-benar akan menjauhi Rizal. Aku rasa ini semua telah membuktikan bahwa Rizal bukanlah pria baik-baik. Aku harus ikhlaskan..

Ya benar seperti apa yang dikatakan Said Ali bin Abi Thalib bahwa cinta tidak akan meminta untuk menanti, tapi mengambil kesempatan atau mempersilakan. Dan aku memilih untuk mempersilakan Rizal agar mempertahankan cintanya dengan Yuna. Karena aku yakin jodoh tidak akan kemana, dan Allah pasti telah mempersiapkan seorang pria yang jauh lebih baik untukku dengan cinta yang pantas pastinya. Bukan cinta yang tak pantas yang sempat aku rasakan terhadap Rizal.
Dan aku sangat bersyukur karena aku bisa tetap memegang teguh prinsipku untuk tidak berpacaran.
Yang baik adalah untuk yang baik, karena itu lebih baik aku berusaha untuk menjadi baik agar dapat mendapatkan yang baik pula.

Wallahu’alam bishawab..
Semoga Allah meridhoi cerpen ini

Serpihan Hati Dari Masa Lalu


Sebuah kamar yang penuh kenangan sangat sayang rasanya bila di tinggalkan begitu saja. Apalagi jika di dalamnya terdapat barang-barang yang memiliki nilai sejarah yang tinggi bagi hidup kita. Seolah menghiraukan keringat yang telah membasahi tubuhnya dengan sigap Andi terus merapikan barang-barang yang berada di kamarnya. Satu persatu benda-benda itu di pisahkannya. Satu persatu ia tumpuk buku-buku sekolahnya yang telah usang itu. Satu persatu ia bongkar benda-benda di dalam kotak untuk dia masukkan ke dalam kotak yang baru. Senyum di wajahnya terus mengiringinya saat ia mulai membersihkan koleksi mainan miliiknya dulu, seolah-olah ia sedang bernostalgia dengan masa lalu.

Gerakannya terhenti. Bola matanya mulai fokus melihat sebuah kertas yang terselip di antara buku-buku yang sudah ia tumpuk rapih. Mulai ia dekati dan ia ambil dengan perlahan kertas yang sudah terlipat-lipat tak karuan itu. Andi mulai membukanya dan ia mulai membacanya. Tiap huruf tak pernah terlewat oleh matanya. Tiap kalimat selalu ia baca dengan detail. Belum selesai ia membaca tawanya sudah pecah. Ingatan di masa lalunya kembali muncul. Ternyata itu adalah surat yang ia terima dari seorang gadis kecil yang pernah menghiasi hatinya. Seorang gadis kecil yang pernah menjalani cinta monyet dengannya.
Kala itu Andi masih duduk di kelas 5 SD. Hatinya pertama kali dicuri oleh seorang gadis kecil yang masih duduk di kelas 4 SD. Gadis kecil itu bernama Yuni yang tak lain adalah tetangganya sendiri. Selain itu Yuni juga teman main dari Andi. Tapi ada satu hal yang tak pernah ia suka dari Yuni. Bukan karena Yuni yang masih suka mengompol atau masih suka menangis ketika terjatuh tapi hal yang tak disukai oleh Andi adalah Ayah Yuni yang super galak itu. Ayah Yuni memang terkenal galaknya terutama pada anak-anak yang sangat berisik ketika bermain di depan rumah Yuni. Ayahnya juga pernah merobek bola milik Andi dengan sebilah pisau kala itu. Itu karena Andi yang tak sengaja menendang bola hingga masuk ke dalam rumah Yuni sehingga menyulut kemarahan Ayah Yuni yang berujung pada pembedahan bola milik Andi. Mulai saat itu Andi tak begitu suka jika bertemu dengan Ayah Yuni. Menurutnya Ayah Yuni hanyalah seorang Haji yang terlewat galak pada anak-anak.

Andi membuat surat yang tak lain adalah surat cinta untuk Yuni. Andi mengirimnya bukan melalui kantor pos atau biro jasa melainkan kebaikan hati seorang teman yang mau memberikan suratnya langsung ke Yuni. Andi menunggu balasan surat cintanya dengan gelisah dan dengan harapan agar jangan sampai ketahuan Ayahnya. Namun istilah “Pucuk di cinta ulam pun tiba” nampaknya tak berlaku kali ini. Surat yang dinanti tak kunjung datang. Ternyata Yuni tak merespon sama sekali. Namun Andi tak menyerah, segala upaya terus ia lakukan. Dari yang selalu menggoda Yuni saat bermain bersama hingga mengatakan “I love you” pada Yuni secara langsung. Semua itu ia lakukan tanpa rasa malu sedikitpun.

Surat yang dinanti pun tiba. Saat itu seorang teman mendatangi Andi dan memberikan sebuah surat yang tak lain dari Yuni. Andi yang kala itu belum tahu rasanya patah hati melompat kegirangan sambil mencium-ciumi surat yang telah ia pegang. Ia pun masuk ke kamarnya dan mulai membaca isi surat tersebut. Bukannya membuat Andi makin girang malah membuat keceriaan hilang seketika dari wajah Andi kala itu. Ternyata Andi harus menahan rasa kecewa karena cintanya di tolak oleh Yuni. Andi sedih tak karuan. Raut wajahnya mengisyaratkan kekecewaan. Tapi ia teringat oleh nasihat sang Ibu jika cinta yang ia rasakan saat ini hanyalah cinta monyet. Cinta yang tak sejati dan hanya bersifat sementara.
Benar saja, dengan mudah Andi melupakan kekecewaan dan rasa sakit hatinya itu hingga Andi sudah duduk di kelas 1 SMP. Roda terus berputar begitupun kehidupan. Seolah Tuhan memberikan isyarat akan kuasanya. Yuni yang dulu sempat menolak cinta Andi kini malah mengejar-ngejar Andi. Yuni pun menyatakan cintanya langsung ke Andi. Bukannya Menerima, Andi malah menolak cinta Yuni. Bukan karena dendam melainkan Andi sudah menemukan tambatan hati yang baru. Mereka pun tak pernah saling sapa lagi kala itu hingga Andi sudah duduk di kelas 1 SMA.

“Andi.. Andi..” Terdengar suara yang memanggil nama Andi dari bawah. “Iya. Aku di kamar!” Teriak andi sambil melipat rapih surat yang ia baca tadi. “Kamu lagi beres-beres kamar?” Ucap Yuni yang saat itu sudah berada di depan kamar Andi. “Iya. Eh sini deh! Aku mau ngasih liat kamu sesuatu.” Ucap andi sambil memperlihatkan kertas yang ia baca tadi. “Apa ini?” tanya Yuni. “Baca aja dulu.” Perintah Andi dengan sedikit memaksa. Yuni pun mulai membacanya. Wajah Yuni seketika berubah merah di temani oleh sebuah senyuman yang terlihat jelas di wajahnya. Tawapun seketika pecah dari Yuni. Andi pun ikut tertawa seolah tak mau ketinggalan merasakan kebahagiaan saat itu. Kebahagiaan tumpah menjadi satu di kamar Andi. Nostalgia akan memori di masa lalu ikut menghadirkan keceriaan bagi mereka berdua. Sepucuk surat dari masa lalu yang mampu membangun kembali sebuah ingatan akan masa lalu bagi Andi dan Yuni. Dua insan Tuhan yang kini telah dipersatukan dalam sebuah ikatan yang abadi. Siapa sangka seseorang yang dulu hanyalah sebagai penghias dari cinta monyetnya kini telah menjadi pelengkap sebagai cinta sejatinya. Sungguh hanya kuasa Tuhanlah yang mampu membuat semua ini terjadi. Karena jodoh adalah salah satu misteri ilahi dan rahasia langit yang tak pernah kita ketahui sebelum kita benar-benar dipersatukan dalam satu ikatan suci dengannya. Yaitu sebuah pernikahan.
Sekian.

Cinta Satu Malam



Cerita Malam Pengantin (Malam Pertama) - Informasi terbaru di pagi hari ini yaitu mengenai sebuah cerita malam pengantin yang mungkin bisa menghibur anda semuanya. berikut cuplikan lengkapnya. Pantai yang sejuk, debur ombak yang syahdu, dengan semilir angin sore yang dingin sesekali menyengat kulit sungguh menjadi momen paling indah di kala kami berbulan madu di parangtritis yogyakarta. Sudah dua hari kami berada disini untuk menghabiskan waktu bulan madu hadiah dari keluarga, dan masih tersisa dua hari lagi untuk kami sebagai pasangan baru menikmati nuansa romantis selatan Pulau Jawa. Hari ini, kami tidak akan menghabiskan malam yang panjang kami hanya di hotel pantai parantritis. Dengan mobil pribadi, kami bertekat untuk mencari suasana baru di kota yogyakarta.

Malioboro adalah tujuan yang pas untuk kami tuju, disamping mengingat masa-masa kuliah bersama, malioboro juga memiliki banyak cerita yang mengagumkan untuk perjalanan karirku hingga sekarang menjadi direktur di sebuah perusahaan swasta ternama. “Sayang, kamu mau makan dimana?” Tanyaku pelan kepada istriku yang sejak tadi hanya terdiam tak seperti biasanya. “Sayang, sayang kamu sakit? Pucat begitu mukanya”? Sedikit tersenyum namun dengan pandangan kosong istriku menatap sejenak ke arahku dan kembali menatap lurus ke dapan tanpa satu katapun terucap dari bibirnya. Karena telah sampai di malioboro, kuhentikan mobilku dan terparkirlah di antara mobil-mobil para pelancong kota budaya yogyakarta.

Istriku tetap pada diamnya, tanpa kata, tanpa suara dan tanpa ekspresi seperti biasanya. Tapi biarlah, mungkin dia terlalu capek karena dua hari ini kami telah menghabiskan hari-hari bersama. “Mas, aku mau pulang,” suaranya yang lirih mulai terdengar. “Kenapa pulang sayang, bukankah kita akan menghabiskan malam ini di sini?” Tanyaku kepadanya yang masih dalam tatapan kosong. “Aku sudah memesan kamar hotel di seberang jalan sana untuk kita berdua, bukankah kamu sangat ingin menginap di hotel itu sayank”? Jawabku sedikit kesal kepadanya yang dari tadi hanya terdiam dan akhirnya sesekali bicara justru mengajak pulang.

Kugandeng tangan istriku yang kurasa semakin dingin, kamipun berjalan menuju hotel. Kunci kamar telah ada di genggaman, dan hingga selarut ini istriku yang ku kenal manis, ramah, manja, cantik serta lugu kini hanya diam tanpa ekspresi. Kami masuki ruang kamar, kupandang tatanan kamar yang begitu nyaman dan romantis. “Andaikan istriku malam ini tak diam, mungkin malam ini kan menjadi malam terindah di bumi Yogyakarta” (pikirku dalam hati). Inilah malam pengantin yang mendebarkan, suasana yang begitu romantis sungguh sangat tepat bagi kami pengantin baru untuk melakukan suatu hubungan.

Tetapi istriku tak menampakkan raut bahagia berada disini, “Apa yang kamu mau sayang, kenapa kamu berbeda hari ini? Sejak berangkat tadi kamu terlihat tak seperti biasanya.” Tanyaku kepadanya karena aku sedikit bingung dengan dirinya hari ini. “aku mau pulang, aku mau pulang, aku mau pulang” kata-kata ini yang terus terucap dari bibir istriku dengan suara lirih yang tak pernah kukenal sebelumnya. Selang beberapa lama, dia terlelap tak sadarkan diri atau bisa dibilang pingsan. Terlihat sesosok bayangan putih dari layar kaca almari kamar dan suara itu, “Aku mau pulang” ikut bersama bayangan itu.

Setelah siuman dari pingsannya, istriku baru cerita bahwa ketika hendak keberangkatan kami ke sini dia diikuti oleh seorang perempuan yang mencari rumahnya, tetapi karena takut dia mengabaikannya dan meninggalkannya. Kini, aku baru mengingat bahwa sesosok itu mungkin arwah gentayangan yang beberapa hari lalu menurut masyarakat setempat korban kecelakaan. Sungguh malam ini membuat malam pengantin kami menjadi sangat mendebarkan dan menakutkan, apalagi kami berada di kampung orang.

Demikianlah informasi yang dapat saya sampaikan untuk sobat semuanya, sekian dari saya dan terima kasih.

Kamera Ku

Siang itu, seusai jam kuliah, Anton iseng-iseng melirik seorang gadis manis yang berdiri sendirian tak jauh di sebelah kananku. Siang itu taman kampus memang ramai oleh mahasiswa-mahasiswi yang baru keluar kelas. Mungkin gadis itu sedang menunggu teman, jemputan, atau mungkin menunggu pacarnya.
“Jepret dong, bro! Bawa-bawa kamera masa cuma lo anggurin. Pemandangan bagus tuh!” Anton terlihat semakin tertarik pada gadis itu. Dia bahkan sepertinya ingin sekali merebut kamera digital di tanganku untuk mengabadikan sosok manis itu. “Woi! Kamera mulu yang lo urusin! Liat bentar dong! Nyesel lo entar!” Kali ini Anton sampai menoyor kepalaku agar tidak terus menunduk mengotak-atik kamera.
Aku berdecak kesal sesaat. Akhirnya dengan malas aku mengangkat wajah dari kesibukan mengotak-atik kamera, dan menggulirkan pandangan pada sosok yang sangat dipuja Anton itu. Lalu, segera saja sosok manis berbalut dress pink pucat selutut itu tertangkap mataku. Aku mengamati sejenak, melihatnya dalam kurun waktu beberapa detik. Hmm… ya memang cantik. Sangat cantik malah. Tinggi, putih, langsing, modis. Perfect-lah. Tapi trus kenapa? Apa untungnya buatku kalau dia cantik?
“Cantik, kan? Apa gue bilang!” Anton menepuk pundakku dengan bangga.
“Iya cantik,” ujarku enteng membenarkan pendapat Anton.
“Lo nggak pengen deketin dia?” bisik Anton jail.
“Buat apa?”
“Ah… bego lo!” Anton lagi-lagi menoyor kepalaku. “Bro, gue bilangin ya. Lo itu punya peluang buat ngedapetin tuh cewek! Gue kadang bingung sama lo. Lo tuh bego beneran ato apa, hah? Lo tuh cakep, smart, kesayangan banyak dosen, bakat fotografi lo juga hebat. Kenapa lo milih Sasi buat jadi pacar lo sih? Apa spesialnya dia?”
Aku menanggapi ocehan Anton hanya dengan senyum ringan. “Spesialnya? Simpel aja.” Senyumku tanpa sadar mengembang semakin lebar. Ah… kenapa aku selalu seperti ini kalau mengingat Sasi? Hmm… dasar cinta! Bikin gila!
“Apa yang bikin lo suka sama si Sasi?” kejar Anton semakin penasaran.
Aku menghela napas sejenak lalu memutuskan untuk duduk lesehan di rerumputan taman kampus yang hijau subur. Anton yang masih menunggu alasanku ikut duduk di sebelahku.
Well, semua orang emang nganggep Sasi itu biasa-biasa aja,” aku mulai menjelaskan. “Tapi justru itu yang bikin gue ngerasa dia beda. Karena cuma gue satu-satunya orang yang bisa menemukan keistimewaannya. Gue jadi ngerasa kalau dia emang sengaja nyimpen keistimewaannya itu cuma buat gue doang. Dan karenanya, gue jadi ngerasa diistimewakan.” Aku tersenyum lebar di akhir penjelasanku.
“Hahaha…!” Anton malah tertawa lebar mendengar penjelasanku. “Bullshit lo! Puitis banget sih lo. Lama-lama gue jatuh cinta sama lo!” komentarnya di akhir tawa.
Aku tidak peduli dan kembali sibuk mengotak-atik kameraku. Memangnya kenapa? Apa yang salah dengan Sasi? Memang itu pendapatku tentang Sasi. Dia memang tidak secantik artis. Dia hanya cukup manis buatku. Dia juga tidak sepintar Einstein dan tidak sekaya anak pengusaha real estate. Tapi lalu apa masalahnya? Aku tidak pernah keberatan dengan segala kekurangannya. Jadi kenapa aku harus pusing-pusing complaint tentang kekurangan-kekurangannya kalau aku bisa menemukan kelebihannya dan merasa nyaman dengan kelebihannya itu?
“Ah… udah ah. Gue cabut dulu ya!” Anton tiba-tiba bangkit berdiri sambil mengeluarkan kunci motornya dari saku celana. “Ngomong-ngomong, tuh bidadari lo baru aja turun dari kahyangan!”
Aku mengikuti arah pandang Anton dan segera mendapati Sasi sedang berjalan ke arahku. Gadis itu tersenyum hangat serta melambaikan tangan singkat padaku. Tanpa sadar senyumku lagi-lagi mengembang lebar. Aduh… aku bisa benar-benar gila karena cinta!
“Hey!” Sasi menyapaku dan Anton dengan nada ramah seperti biasanya.
Anton membalas dengan senyum yang juga ramah. Lalu sepertinya ia sadar diri akan menjadi obat nyamuk. Karena setelah itu ia memilih undur diri dengan berbasa-basi sejenak, kemudian buru-buru pergi.
“Kamera kamu kenapa?” Seperginya Anton, Sasi ikut duduk lesehan di sebelahku.
“Nggak kenapa-napa kok,” jawabku singkat.
“Beneran nggak kenapa-napa? Kok diotak-atik terus? Nggak rusak, kan?”
Rusak? Sasi mengira kameraku rusak? Hmm… tiba-tiba muncul ide di otakku. Menjaili pacar sebentar? Kayaknya seru tuh.
“Iya nih rusak. Nggak tau deh kenapa. Tiba-tiba mati gitu.” Aku pura-pura panik sambil terus mengotak-atik kamera. Sandiwara dimulai!
“Hah? Beneran rusak? Kan kamu belinya baru beberapa minggu yang lalu. Masa udah rusak? Coba deh dicek dulu!” Nada suara Sasi mulai terdengar panik.
“Iya beneran. Semua pengaturan-pengaturan udah aku cek. Tapi tetep aja nggak mau jalan! Trus musti gimana nih?”
Sasi terdiam sejenak. Keningnya berkerut rapat pertanda ia ikut berpikir. “Baterainya low-bat, kali?” ujarnya. “Udah kamu cek belum baterainya? Kali aja kamu keasikan motret sampe lupa merhatiin batere.”
“Udah aku cek juga. Nggak low-bat kok. Masih full. Pokoknya semuanya udah aku cek deh tadi. Trus tiba-tiba mati gitu aja.”
“Masa sih? Kok aneh.” Sasi semakin serius berpikir. Kepalanya dimiringkan dan tatapannya tertuju lurus pada kameraku. “Padahal kamu udah hunting foto sampe luar kota ya pake kamera ini?” ujarnya lirih. Ia menatapku prihatin.“Wah… sayang banget dong kalau foto-fotonya sampe ilang.”
“Itu dia masalahnya. Aku udah bela-belain ke Jogja, Solo, sampe Lombok pula. Masa ilang gitu aja? Aduh… sial-sial!” Aku menggaruk-garuk rambutku secara kasar untuk memperdalam akting kesalku.
Sasi masih terdiam. Gadis itu juga masih mengerutkan kening pertanda ia masih ikut berpikir. Diam-diam aku menahan senyum. Melihatnya, rasanya aku jadi merasa semakin sayang saja.
“Garansi tokonya masih nggak?” tanyanya kemudian.
“Garansi? Masih sih. Tapi kan foto-foto yang udah aku ambil nggak bisa balik lagi.”
“Oh iya ya.” Sasi bergumam pelan. Gadis itu sepertinya mulai putus asa. “Coba deh kamu bongkar dulu. Kali aja ada yang salah. Kabelnya atau apanya gitu.”
“Nggak kok. Udah aku bongkar juga.”
Sasi menghela napas panjang. “Coba kamu nyalain lagi,” katanya putus asa.
Kali ini aku menurutinya. Pura-pura kutekan tombol on pada kameraku yang sebenarnya dari tadi sudah menyala. Lalu dengan sedikit taktik, aku bisa membuat kamera itu seperti baru menyala setelah tombol on ditekan.
“Nah, tuh bisa nyala!” Sasi memekik senang.
“Eh iya. Bisa nyala!” Aku juga pura-pura memekik senang. “Coba aku cek foto-fotonya dulu ya!”
“Iya buruan dicek! Mudah-mudahan masih ada semua!”
Segera aku membuka foto-foto yang paling terakhir kuambil. Dan yang pertama kali muncul di layar adalah foto-foto Sasi yang sedang tampak bingung, panik, bahkan putus asa.
“Lho, kok isinya aku semua sih?!” Sasi bergumam bingung.
Aku diam saja sambil mati-matian menahan tawa.
“Lho, lho, lho, tunggu-tunggu. Ini kayaknya baru aja kamu ambil ya fotonya? Background tempatnya, baju yang aku pake… trus… hey! Kamu ngerjain aku ya?!”
“Hahahaha….!” Aku langsung tertawa terpingkal-pingkal. Akhirnya Sasi sadar juga. Sedari tadi selain aku berpura-pura panik karena kameraku rusak, aku juga diam-diam mengabadikan setiap ekspresi Sasi ketika mendengar kameraku rusak. Setiap ekspresi paniknya, ekspresi khawatirnya, ekspresi putus asanya. Semuanya dapat tertangkap jelas di kameraku hanya dengan sedikit taktik agar kamera terlihat dalam keadaan mati, tapi tetap bisa menjepret gambar.
“Ah… rese! Curang!” Sasi masih berteriak-teriak kesal. Senyum salah tingkahnya serta pipinya yang memerah terlihat menggemaskan bagiku. Melihatnya, tentu saja aku tidak mau menyia-nyiakan momen itu. Lagi-lagi tanpa sepengetahuan Sasi, dengan kecepatan tangan layaknya pesulap, aku bisa mengabadikan salah satu ekspresi yang kusenangi itu. Dan… Clap! Aku berhasil mengabadikan ekspresi itu.
“Hayo! Kamu ngapain lagi, ha? Kamu pasti diem-diem motret aku lagi, kan? Ah… hapus! Pokoknya hapus!” Gadis itu berusaha merebut kameraku.
“Eh, jangan dong!” Aku berusaha menyembunyikan kameraku di belakang punggung.
“Reno, hapus! Aku malu tau!”
“Iya nanti di rumah aku hapus!”
“Nggak! Harus sekarang!”
“Aduh… Ntar dirumah langsung aku hapus kok. Beneran!”
“Ah… nggak percaya! Kamu suka bohong! Ayo hapus sekarang! Mana sini, aku aja yang ngehapus!” seru Sasi.
Sasi terus memburu kameraku. Sementara itu aku melakukan tindakan sebaliknya. Aku terus menyembunyikan kameraku. Jangan sampai foto-foto itu terhapus. Tentu saja aku tidak mau kehilangan gambar-gambar berharga itu.
Well, setiap orang memiliki kriteria yang berbeda dalam menentukan pasangan. Ada yang menyukai seseorang karena kecantikan atau ketampanannya, ada yang karena kepandaiannya, ada yang karena hartanya, ada yang karena statusnya, ada yang karena hobinya, ada yang karena perlakuannya, ada yang karena sifatnya, dan macam-macam.
Lalu bagaimana denganku? Mengapa aku memilih Sasi? Simpel saja. Aku memilih Sasi karena dia memiliki segudang ekspresi menawan yang tidak pernah disadari kebanyakan orang. Dia memiliki ekspresi-ekspresi yang selalu pas ketika aku diam-diam mengarahkan kamera hanya dengan sekali bidik. Ekspresinya sangat natural dan menawan. Ketika gadis itu tersenyum, tertawa, melamun, bosan, bahkan ketika panik, khawatir, ataupun putus asa seperti yang baru saja kudapatkan berkat menjailinya. Semua ekspresinya terlihat hidup. Dan itu yang kusebut sebagai kelebihannya yang tidak pernah disadari orang lain. Dan aku merasa nyaman dengan semua itu, dan aku menyukainya,  dan aku memilihnya, dan aku ingin terus memotretnya.

Kamera cinta



Pagi yang cerah untuk mengawali hari ini dengan bersekolah sebagai siswi SMA Nusa kelas 10C. Ditemani oleh teriknya mentari, sejuknya angin di pagi hari, dan secangkir kopi hangat dimeja kantin sekolah. Sambil meneguk kopi hangat dan tanpa sadar telah hanyut dalam lamunan layar kaca handphone yang didalamnya terselip foto seorang lelaki tampan idamanku selama ini. Lelaki tampan itu namanya Aris Al-Gusti, dia adalah murid SMA Bangsa kelas 11 yang cukup populer, dia dikenal sebagai pemain basket yang jago dan fotografer handal. Aku mengenalnya dari salah satu teman bbm yang membroadcast pin bb dia yang akhirnya aku invite dan berlanjut untuk aku mem-follow twitternya dan add facebooknya sampai ke akun social media lainnya. Meskipun aku belum pernah bertemu dengannya langsung padahal kami tinggal dikota yang sama, meskipun berbeda sekolah dan aku pun belum pernah berkenalan secara resmi dengannya meskipun aku tau namanya. Ya biarlah aku terus menjadi pengagum rahasianya tanpa ada orang lain yang tau selain Tuhan dan sahabatku Hanna. Baru saja aku terhanyut dalam lamunan dan meneguk secangkir kopi hangat itu, kedatangan sahabatku Hanna justru mengagetkanku. 
“Nina!!” teriakkan yang tak asing lagi bagiku, sudah pasti itu Hanna.
“Apa sih, Han? Bikin kaget aja tau gak.” Ucapku lalu menaruh cangkir kopi itu diatas meja.
“Ngapain coba lo masih diem disini sambil mandang foto cowok idaman lo itu? Kenapa lo gak pergi aja buat liat langsung cowok itu daripada cuma liat dari foto?” sindir Hanna.
“Gue harus ketemu dia dimana? Ngeliat dia sekali aja belom pernah selain di foto.”
“Duh.. lo itu ketinggalan jaman atau kudet (kurang update) sih? Cowok idaman lo itu sekarang lagi ada disini, dilapangan basket sekolah kita dan bentar lagi sekolah dia bakalan tanding basket lawan tim sekolah kita. Ayo buruan! Tunggu apa lagi!” belum sempat aku merespon perkataan Hanna, ia sudah menarik tanganku kencang-kencang dan berlari menuju lapangan basket.

Pertandingan basket seperti ini memang sangat biasa dikalangan anak-anak sekolah karna acara seperti ini memang dilakukan setiap tahunnya dan inilah saat yang disukai seluruh siswa, dimana setiap acara ini diselenggarakan seakan pelajaran sekolah terlupakan dan dihentikan sementara waktu. Pertandingan baru saja dimulai, anak-anak bersorak mendukung tim sekolah SMA Nusa. Hanna pun malah ikut-ikutan bersorak, sedangkan aku hanya terdiam tak tau apa yang harus aku lakukan. Rasanya otakku berhenti berfikir dan jantungku seakan berhenti berdetak karna tak menyangka dapat bertemu dengan lelaki tampan itu, apalagi ini adalah kali pertama aku bertemu dengannya. Hanna menyuruhku agar aku ikut menyemangati cowok idamanku itu, awalnya aku malu dan takut tapi ku coba memberanikan diri.
“ARIS!!! SEMANGAT YA KAMU PASTI BISA!!” teriakku kencang.
Aris pun menoleh kearahku lalu membalasnya dengan senyuman manis. Tak ku sangka ia tersenyum padaku, sontak saja senyumku pun ikut mengembang bebas. Salah satu teman Aris justru memberi tau Aris jika ada salah satu perempuan SMA Nusa yang berteriak namanya diantara teman-temannya yang bersorak menyemangati tim SMA Nusa.
“Ris, lo liat deh itu ada cewek anak SMA Nusa yang nyemangatin lo diantara temen-temen lainnya yang nyemangatin tim sekolahnya sendiri, gak nyangka lo cukup popular juga disini.” Ucap salah satu teman basket Aris.
“Ah loe bisa aja bro! udah fokus main aja.” Bisik Aris.

Pertandingan berakhir dan dimenangkan oleh SMA Nusa. Sampai anak-anak tim basket SMA Bangsa pulang pun tak ada respon apapun dari Aris, padahal aku sudah  menyemangatinya sampai suaraku hampir habis rasanya, tenggorokan pun rasanya kering. Ada perasaan kecewa karna tak mendapat simpati dari Aris, tapi ada juga rasa senang saat mengingat senyuman manis Aris yang ditujukan padaku. Sepulang sekolah, aku langsung merebahkan diri dikamar, melepaskan semua beban yang ada rasanya sangat nyaman. Beruntung saja, selama seminggu kedepan akan libur jadi aku tak perlu pusing-pusing memikirkan tugas sekolah karna ada acara olahraga yang diselenggarakan tersebut jadilah seluruh siswa diliburkan. Hari ini adalah hari pertama aku dan keluargaku akan pindah rumah, pindah ke sebuah perumahan komplek. Ayah dan Ibu memang sengaja memilih rumah disebuah komplek agar aman, karna rumahku yang lama ini letaknya ada dipinggir jalan raya jadi terkadang banyak asap kendaraan dan debu yang masuk, yang membuat mimisanku sering kambuh.

Keesokan paginya, aku menyusuri jalanan sekitar komplek untuk berjalan-jalan sambil melihat suasana komplek baru itu sambil membawa kamera digital untuk mendapatkan momen-momen baru yang akan aku temukan disini. Aku menemukan sebuah taman depan komplek yang tempatnya sangat bersih dan asri. Aku pun menyegerakan duduk lesehan diatas rumput taman itu sambil memotret bunga-bunga taman yang indah bermekaran.

Aris pun sedang tinggal menginap dirumah sepupunya disatu komplek yang sama denganku, tepatnya rumah itu berada persis didepan rumah baruku. Aris memang anak tunggal jadi wajar jika ia merasa kesepian dirumah jadi ia sering menginap atau sekedar bermain-main dirumah sepupunya ini. Aris pun sering berjalan-jalan disekitar komplek dan biasanya suka berduduk santai ditaman depan komplek. Dan diwaktu yang bersamaan itupun, tak sengaja Aris sedang mencari objek foto yang bagus melalui lensa kameranya, sampai ia menangkap sebuah momen lewat kameranya dimana saat aku sedang memotret bunga ditaman. Ia merasa puas dengan hasil fotonya ini, belum pernah ia merasa sepuas ini setelah mendapatkan objek foto yang bagus. Ia sangat mengakui bahwa objek difotonya itu sangatlah cantik dan indah. Ia lalu terus mencoba menangkap kembali momen yang indah dan menjadikan aku sebagai objek fotonya, saat ia melihat kameranya dan mencoba memotretku lagi tapi aku melihat kearah lensa kameranya, segera saja ia bersembunyi dan menyelinap agar tidak ketahuan. Karna aku merasa ada yang telah memotretku secara sembunyi-sembunyi, aku mencoba mencari dan mendekat kearah orang tersebut. Namun, begitu aku mendekat untuk melihatnya lebih dekat, ia justru sudah tidak ada. Jadilah, aku penasaran dengan orang itu. Aku tak tau jika itu adalah Aris, cowok idamanku itu. Setelah itu, aku pun memutuskan untuk pulang kerumah.

Dengan perasaan senang, Aris buru-buru kerumah dan langsung menemui sepupunya, Mas Adit. Untuk memberi tau kejadian apa yang baru saja menimpanya, ia bertemu dengan seorang bidadari cantik dan itu adalah objek foto terindah yang pernah ia lihat. Mas Adit bingung, tak percaya, dan tak mengerti yang dimaksud oleh adik sepupunya itu. Langsung saja Aris menunjukkan foto-foto tersebut pada mas Adit. Sekarang, mas Adit baru tau dan mengerti bahwa yang dimaksud oleh Aris itu adalah Nina, tetangga barunya. Segera saja, Aris tidak sabar untuk segera meminta sepupunya itu mengenalkan perempuan ini padanya. Mas Adit hanya geleng-geleng kepala melihat perubahan tingkah yang aneh pada sepupunya ini. 

Malamnya, mas Adit dan Aris datang kerumahku membawa sebuah parcel kecil yang berisi banyak coklat, mereka sengaja datang kerumahku untuk sekedar berkenalan dan ngobrol. Awalnya, aku sangat kaget begitu melihat Aris ada didepan rumahku dan tak ku sangka ia justru datang kerumahku bersama mas Adit. Tubuhku rasanya menjadi beku seketika, bibirku bergetar, tangan dan kaki ku serasa panas dingin, aku sendiri pun bingung harus bersikap bagaimana dihadapannya. Mereka pun akhirnya menjelaskan keinginan mereka untuk datang kemari. Kami bertiga pun berkenal dan ngobrol di paviliun depan rumahku. 
“Hai. Kamu tetangga baru kan disini? Aku tetangga baru kamu, itu rumahnya didepan rumah kamu hehe.” ucap mas Adit mencoba untuk akrab.
“Hai juga. Oh iyaiya.”
“Sebenernya niat kami datang kesini mau kenalan, sebenernya sih yang ngebet pengen kenalan itu sepupu aku, ini orangnya.” Kata mas Adit menunjuk kepada Aris. Aris langsung menginjak kaki mas Adit yang dinilai telah salah bicara.
“Kenalin, aku Adit dan ini Aris sepupu aku yang lagi nginep dirumah aku.”
“Oh iya, aku Nina.”
“Namanya secantik orangnya.” Ucap Aris pelan yang sedikit samar ku dengar.
“Oh iya, ngobrolnya di paviliun aja biar lebih enak. Ayo!” ajakku.

Setelah bercengkrama dan cerita cukup lama, barulah aku tau kalo yang tadi siang itu adalah Aris yang memang sengaja memotretku tanpa sepengetahuan diriku. Ada secercah harapan dalam hati dan pertanyaan yang terbesit dalam dada, mungkinkah Aris menyukaiku?
Setelah kembali bercerita-cerita ternyata Aris pun masih mengingat dan hafal betul wajahku ini, bahkan dia masih ingat kalo cewek SMA Nusa yang kemarin pagi menyemangatinya itu adalah aku. Betapa senangnya hati ini serasa ingin terbang jauh ke angkasa.
“Kayaknya kita pernah ketemu deh sebelumnya. Tapi dimana yah?” ucap Aris sambil mengingat. Aku sengaja terdiam, mengetes kemampuan ingatannya.
“Oh iya aku inget, kamu cewek anak SMA Nusa yang kemarin nyemangatin aku kan waktu pertandingan basket. Iya kan?” ucap Aris memastikan.
“Heh Ris! Geer banget sih lo jadi orang, jangan asal ngomong deh.” Bisik mas Adit yang juga terdengar olehku.
“Hmm.. iya emang bener kok itu emang aku yang waktu itu nyemangatin kamu.” Ucapku sedikit ragu.
“Tuh kan berarti aku gak salah lagi dong.”
“Pede banget sih lo Ris!” bisik mas Adit yang lagi-lagi menyindir Aris.

 Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul 10 malam, mas Adit dan Aris pun memutuskan untuk pulang dan berjanji esok akan datang kembali. Tentu saja aku mengamini niatannya tersebut. Hingga aku masuk dalam rumah pun, aku langsung menghempaskan tubuhku diatas kasur rasanya ingin benar-benar terbang begitu tau Aris sangat menyukaiku sebagai objek fotonya, rasanya seperti mimpi tapi ini bukan mimpi. Lalu, aku menyempatkan diri untuk menelepon Hanna hanya untuk sekedar memberi tau berita bahagia ini, Hanna saja masih tak percaya, mungkin ia mengira bahwa aku ini hanya menghayal tapi tentu saja ini kenyataan. Sampai akhirnya tengah malam barulah aku menutup teleponku yang sedari tadi masih asik saja ngobrol dengan Hanna. Karna letih, dengan cepat pun aku langsung terbawa kealam tidur.

Paginya, aku kembali pergi ke taman dekat komplek untuk sekedar mencari hiburan dengan mengabadikan momen indah saat bunga-bunga masih segar bermekaran dengan bintik-bintik tetesan air embun semalam menjadikannya lebih indah, lebih hidup dan lebih berwarna. Ternyata tanpa ku sadari, Aris kembali mencuri-curi momen untuk memotret dengan kameranya, mengabadikan kecantikkanku yang katanya mengalahkan bunga-bunga yang ada ditaman tersebut. Tapi untuk kali ini, Aris ketahuan sedang memotretku secara diam-diam. Aku pun langsung menghampirinya dan akhirnya kami berdua malah saling cerita ngalor-ngidul (kesana-kemari). Saat sedang asik bercerita, tiba-tiba aku bersin dan hidungku mengeluarkan darah yang itu artinya aku mimisan (lagi). Dengan sigap, Aris langsung mengambil saputangan miliknya dari saku dan mengusapnya pada hidungku yang telah banyak mengeluarkan darah.
“Nina, hidung kamu berdarah!” ucap Aris lalu segera mengusapkan darah itu dengan saputangannya.
“Gapapa Ris, ini cuma mimisan biasa kok.”
“Biasa gimana? Kamu udah cek ke dokter belum?” ucapnya sedikit panik.
“Udah dulu udah pernah cek ke dokter kok katanya cuma mimisan biasa kalo kena debu. Nanti juga darahnya berhenti sendiri kok.”
Setelah darahnya telah berhenti mengalir, Aris mengantarku sampai depan rumah barulah dia juga pulang kerumah mas Adit.

Besoknya, aku sekedar duduk-duduk dipaviliun sambil minum secangkir capucinno hangat dan mengingat-ingat kembali kejadian malam itu sewaktu Aris mengajakku berkenalan dengan datang langsung kerumahku. Otakku seperti memutar kembali kejadian-kejadian itu yang hampir membuatku lupa diri. Samar-samar aku mendengar suara seseorang yang memanggil namaku, aku pun menoleh dan mencari-cari keberadaan orang tersebut. “Nina!” ternyata itu adalah suara Aris yang memanggilku dari balkon kamar tidur sepupunya. Sambil melambaikan tangan ia berteriak namaku. Aku pun membalasnya dengan senyum manis dan seakan ikut melambaikan tangan. Aris memberiku isyarat agar aku menunggunya disini dan dia akan turun untuk menyusulku. Tentu saja aku menyanggupi isyaratnya tersebut. Aris menyusulku di paviliun sambil membawa kamera digitalnya. Kami pun ngobrol-ngobrol sebentar dipaviliun lalu ia mengajakku pergi kesuatu tempat yang bagus untuk hunting foto. Aku pun menyanggupinya, lalu kami berdua pergi ketempat yang tidak begitu ramai dan jauh dari pusat kota sehingga tidak banyak kendaraan yang lewat apalagi asap kendaraan bermotor. Tempat ini masih bersih dan terasa sejuk karna rumput-rumput hijau yang tumbuh subur disini, seperti taman tapi lebih mirip padang ilalang atau padang rumput. Kami berdua pun segera hunting foto berdua dan mengambil momen-momen indah hingga sore itu tiba dan kami menunggu saat yang tepat yaitu sunset atau matahari terbenam. Beruntung saja, Aris sempat menangkap momen indah tersebut yang mana digambar itu pun ada bayanganku yang nampak melihat kearah matahari tersebut, mungkin itu hal yang mudah bagi Aris karna dia kan fotografer handal. Jadi setiap momen yang dia tangkap pasti hasilnya selalu bagus, berbanding jauh dengan aku. Tapi aku senang, didalam kameranya semua ternyata banyak sekali fotoku yang berhasil ia tangkap tanpa sepengetahuan aku. Agak sedikit kesal memang karna ada beberapa foto yang memang jelek, menurutku. Tapi, Aris bilang semua objek foto yang ia foto padaku itu semua bagus dan indah.

Aku dan Aris memang pulang agak kemalaman, ya baru jam 8 malam sih tapi kami sudah pergi dari pagi jadi bisa terhitung berapa lama kami pergi. Tapi untunglah, ayah dan ibuku tak marah padaku karna pulang kemalaman, mereka malah meledekku karna dari kemarin aku begitu dekat dengan Aris. Yah tak apalah, aku pun justru senang diledek seperti itu. Dan setelah mengenalku, kini Aris lebih sering menginap dirumah mas Adit ketimbang dirumahnya sendiri dengan alasan ingin selalu bertemuku. Tapi orangtua Aris pun tak melarang jika ia terus menginap dirumah mas Adit.

-

17 Februari 2013 adalah tepat dimana kini hari ulang tahunku. Tidak ada perayaan khusus memang atau perayaan secara besar-besaran layaknya tahun-tahun sebelumnya. Tapi yang berbeda tahun ini adalah kehadiran Aris dalam hidupku yang kini semakin berarti, ia memberiku sebuah kado istimewa yang berisi bingkai foto berwarna hitam klasik yang didalamnya terselip berbagai macam fotoku dengan latar dan waktu yang berbeda dan yang membuatku terkejut lagi, difoto tersebut ada sebuah tulisan yang sangat berarti “Would you be my girl?” tentu saja aku mengamini pertanyaan tersebut dan tepat pada hari ulang tahun ku tersebut lah aku dan Aris akhirnya betul-betul menjadi seorang pasangan kekasih.

Adanya Rasa Dibalik Mata Lensa Kamera



Melihat mereka berdua sangat akrab, Aku merasa sakit. Meski hanya dari balik lensa kameraku, namun, bidikanku tepat mengenai hatiku. Ketahuilah, Aku adalah seorang fotografer. Aku selalu mencuri-curi kesempatan, untuk mencari, dan mengambil setiap momen yang paling berharga buatku. Meski kameraku adalah kamera butut. Dengan blitz, roll film, dan lensa sebagai senjatanya, Aku mampu mendapatkannya. Momen yang paling berharga. Terkadang Aku sering diusir orang, karena dianggap pengganggu. Terkadang Aku dibiarkan saja karena hanya dianggap sebagai lalat kecil yang tidak mengganggu. Atau, Aku lebih sering ditahan oleh kesalahanku yang mentarget “cewek-cewek sadar kamera”. Namun hal itu menjadikan hobiku sebagai sesuatu yang luar biasa, dan penuh tantangan. Termasuk hari ini. Tantangan tersendiri buat keteguhan hatiku di balik lensa atau merusak momen dengan mendatanginya.
Hari itu, adalah hari libur. Tepatnya liburan sekolah. Hari sudah menjelang sore. Namun Aku tetap saja masih menyusuri batangan rel kereta yang membujur dari Stasiun Lempuyangan hingga Stasiun Tugu. Sambil menenteng kamera, Aku terus mencari objek yang sekiranya dapat membuat film ku terkesan hidup. Hingga akhirnya Aku melihat mereka berboncengan berdua, sambil berpegangan tangan sedang berhenti di lampu merah dekat Malioboro. Dari atas jembatan kereta secara jelas Aku melihatnya. Dan secara insting, Aku menarik kameraku, mengganti lensanya dan membidik ke arah mereka berdua. Ya, dari bidikanku terlihat jelas. Itulah cowok yang sering ia ceritakan. Sambil membidik, Aku terus menarik roll film, dan menekan tombol shutter. Hingga tak terasa 36 lembar film habis hanya untuk mereka berdua. Kuturunkan kameraku dan Aku melihat mereka berlalu dari hadapanku. Dari atas jembatan kereta ini Aku tak dapat berbuat apa-apa. Namun, foto-fotokulah yang mampu dan akan berbicara.
Di tengah kesibukan membereskan kameraku, terdengar klakson kereta yang makin keras dari belakangku. Menandakan sebuah kereta melaju dan makin mendekat ke arahku. Aku segera turun dari batangan rel yang kutelusuri dan kembali berjalan diantara dua rel yang membujur. Tak kuhiraukan seberapa bisingnya suara kereta yang lewat di sisiku. Bagiku, hal itu sudah menjadi makan malamku sehari-hari.
Sambil terus berjalan, Aku merapikan kembali kameraku. Kulepaskan lensa jarak jauh dan kupasangkan kembali lensa 70mm ku. Tak lupa juga Aku memutar balik roll film yang telah kuhabiskan untuk bidikan jarak jauh terhebatku. Untuk alasan tertentu, hari ini rasa sakitku serasa hilang begitu saja setelah kugenggam satu roll film yang penuh dengan momen-momen tak terduga. Yang apabila Aku bawa ke ruang gelap, deretan 36 film itu akan membuat sebuah cerita seru. Memang inilah asyiknya menjadi seorang fotografer. Merubah sebuah momen menjadi sebuah cerita.
Tak terasa sudah lima belas menit Aku berjalan. Dan Stasiun Tugu telah tepat berada di hadapanku. Segera kucari sepeda motorku di tempat parkir. Cukup memakan waktu juga, karena ternyata motorku dipindahkan agak jauh ketengah. Dengan sedikit bantuan seorang tukang parkir, Akupun meninggalkan stasiun….

Aku melaju dengan perlahan. Mengingat pada malam itu tak seperti biasanya jalanan Malioboro penuh sesak dengan orang-orang. Lalu lintas padat merayap, dan Aku hanya dapat melaju di bawah 20 km/jam. Meski suasana langit telah berubah menjadi gelap, Aku tetap tak dapat bergerak bebas. Terhimpit diantara lalu lintas dan lalu lalang orang. Aku menyerah.
Setelah sekian lama Aku terjebak di jalanan Malioboro, akhirnya Bank Indonesia dan Bank BNI 46 tepat ada dihadapanku. Jalanan yang lenggang dan luas kini tepat ada dihadapanku. Dengan diterangi lampu jalan yang khas, suasana malam itu terasa seperti suasana senja. Suasana malam yang gelap dan mencekam, kini digantikan oleh suasana yang remang dan menentramkan. Ditemani oleh empat buah gedung bank tua di sisi kanan, kiri, dan seberang jalan, menambah indahnya suasana malam di Kotaku yang tercinta ini. Hingga semua pikiranku serasa terhapus oleh indahnya suasana malam. Dan Aku merasa, Aku dapat tersenyum kembali….
Aku mempercepat laju motorku. Setelah sempat melihat jam tangan yang telah menunjukkan pukul delapan malam. Benar tak terasa jika hari sudah benar benar beranjak malam. Dan saat ini, Aku masih berada di jalan. Sambil terus melaju, Aku memikirkan rencana-rencana yang akan kulakukan malam ini. Mengingat fisikku yang kelelahan, dan keinginanku untuk membongkar hasil bidikanku di ruang gelap. Di samping itu, Aku juga masih mempunyai pekerjaan rumahan yang belum sempat Aku kerjakan dari tadi siang. Yakni makan. Dari tadi siang Aku merasa malas sekali untuk makan. Dan kali ini rasa laparku perlu diobati.
Kutemukan sebuah tempat makan yang sekiranya mampu memenuhi hasratku untuk makan. Aku mulai menepi. Kupakirkan motorku dan Aku masuk ke tempat makan itu. Di tempat itu, Aku memesan sebuah masakan dan minuman yang tersedia. Dan, wala, tak sampai sepuluh menit Aku menunggu, pramusaji menghampiri mejaku sambil membawa makanan dan minuman yang Aku pesan. Nampaknya sangat lezat. Udang dengan balutan terigu dihiasi dengan selada, mentimun, tomat yang ditata melingkar, dan satu mangkok kecil sambal bangkok menjadi menu utamanya. Sungguh lezat tampaknya. Ditambah dengan nasi hangat dan puding coklat sebagai penutupnya. Aku berpikir nampaknya Aku salah memilih menu. Karena menu ini terlalu mewah buatku. Tetapi, mungkin perutku yang berbicara, sehingga akal tak mampu melogikanya lagi.
Aku mulai makan. Kumulai dengan mencelupkan udang ke dalam sambal bangkok kemudian kumakan bersama nasi. Pedas, tapi nikmat. Itulah yang Aku rasakan. Terus saja Aku menikmati menu pesananku itu. Hingga tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Kurogoh sakuku untuk mengambil telepon genggamku dan mengangkatnya. Ternyata, targetku tadi sore yang menelepon.
“Honey, Are You free now?” Katanya.
“Sorry, Honey. But I really busy now…” kataku sambil terus mengunyah udang yang ada di dalam mulutku.
“Ooh, sorry. And what Are You doing now?” Tanyanya padaku.
“Oh, ya, you know. Now, making story is my hobby” jawabku sambil tersenyum.
“Making story? What story?” tanyanya kembali.
“Hahaha, just wait for it. oke? If I tell it to you now, it won’t a story again” kataku sambil tertawa.
“Okey honey, I’ll wait for your story” katanya padaku.
“Oke, Oke, maybe tonight I’ll finish it and then, in three days you will know my story” kataku kembali.
“Ya, honey. Maybe umm…, I want close our conversation. Coz, I don’t want make you can’t finish the story. So, umm… Good Night, Honey….” katanya sambil menggumam.
“Oh, ya, honey. Good Night too… Have a beautiful night….” kataku sambil menutup percakapanku dengannya.
Jujur saja, meski dia adalah tulen orang Indonesia, namun ketika dia berkomunikasi dengan orang selalu menggunakan Bahasa Inggris. Hal itulah yang kadang bikin Aku gelagapan. Tapi, malam ini, Aku benar-benar akan membuat cerita….
Empat puluh lima menit kuhabiskan di tempat makan itu. Aku merasa malam itu benar benar menjadi milikku. Di mana Aku hanya sendiri, menikmati makanan, dan benar benar hanya ditemani oleh suasana malam. Sekali lagi kutengok jam tanganku. Jarum jam sudah menunjuk di angka sepuluh dan jarum menit masih belum menyentuh angka dua belas. Melihat hari benar-benar telah larut malam, Aku putuskan untuk menyudahi makan malamku. Kupanggil seorang pramusaji untuk membawakan billku. Ia datang sambil membawa nampan kecil yang di tengahnya sudah ditaruh sebuah bill. Setelah ia merendahkan nampannya dan memberikan isyarat kepadaku, kuambil bill makan malamku. Kulihat, dan Aku berdiri kemudian berjalan menuju kasir untuk membayarnya. Kutarik dompetku dari saku belakang dan kuambil dua pecahan uang dua puluh ribuan. Kuberikan uang itu pada petugas mesin kasir, dan Aku masih menerima kembalian satu lembar pecahan dua ribuan. Kumasukkan uang kembalian itu ke dalam saku bajuku dan Aku mulai beranjak meninggalkan tempat makan itu.
Aku mulai berjalan kembali. Kali ini tujuanku tak lain adalah rumah. Dalam bayanganku, sesampainya di rumah Aku disambut hangat oleh ruang gelapku tercinta. Yang akan menjadi partnerku dalam membikin cerita. Namun, ternyata hal yang kuharapkan tidak terjadi. Sesampainya di rumah, ternyata listrik di daerahku sedang padam. Otomatis, alat cetak filmku takkan dapat berfungsi. Dan apabila padamnya listrik ini cukup lama, tentu saja akan menjadikan usahaku tadi siang menjadi sia-sia. Meskipun demikian, Aku masih berharap padamnya listrik ini tidak berlangsung lama. Aku menunggu. Sambil menunggu, kunyalakan beberapa lilin untuk menerangi sudut-sudut ruangan dalam rumahku. Cukup terang dan menenangkan. Cahaya lilin yang bergoyang-goyang akibat terpaan angin, membuat suasana malam makin menenangkan. Sehingga pekerjaan membersihkan kamera beserta lensanya menjadi makin menyenangkan.
Tepat pukul dua belas malam, listrik menyala. Kupadamkan lilin satu persatu dan kutaruh kembali pada tempatnya. Tanpa membuang waktu lagi, kutarik tas kameraku dan kubawa menuju ke ruang gelap. Di sana, Aku akan membongkar salah satu roll film yang kugunakan tadi siang. Terutama satu roll yang habis kugunakan untuk mentarget dari atas jembatan kereta tadi siang. Namun, lagi-lagi rencanaku kembali terhambat. Aku terlalu ceroboh untuk tidak menghangatkan mesin cetaknya terlebih dahulu. Akibatnya, rencanaku harus mundur satu jam karena menunggu siapnya mesin. Sambil menunggu, Aku mulai membongkar film. Pertama, kugelapkan ruangan itu dengan menutup seluruh jendela dan fentilasi. Kupastikan tidak ada cahaya sekecil apapun yang masih mampu menembus masuk ke ruangan. Kemudian kuhidupkan lampu merahnya, dan kumatikan juga lampu clearnya. Lampu merah ini tidak akan membakar film, sehingga cukup aman jika film dibongkar dan dikeluarkan dari tabungnya. Setelah semua siap, Aku mulai bekerja.
Kuambil sebuah pinset kecil untuk membuka lidah rollnya. Setelah terbuka, kuputar-putar roll itu untuk mencari ujungnya. Dan, “cleck” itulah suara kecil yang khas apabila ujung roll film mengenai lidahnya. Kemudian Aku mengambil jarum kecil dan menarik roll film itu. Penarikan Aku lakukan di dalam air. Supaya efek cahaya merah tidak terlalu berpengaruh pada film. Satu sentakan kecil telah melepaskan ikatan roll film itu dari tabungnya. Segera setelah terlepas, Aku mencucinya dan memastikan semua bayangan yang tertangkap di film terlihat jelas. Sehingga hasil cetakan akan sempurna nantinya.
Tepat satu jam Aku membongkar film dan mencucinya. Tepat saat itu juga, mesin cetak juga telah siap. Inilah yang kunantikan. Membuat cerita….
Segera saja kubawa film-film yang telah tercuci tadi ke mesin cetak. Satu persatu, film-film tadi aku set ke dalam mesin. Tak lupa juga glossy paper juga kumasukkan ke paper tray. Setelah siap semuanya. Aku mulai mencetak. Pertama, Aku menset ukuran foto yang akan dicetak. Kemudian pewarnaan kuset ke mode grayscale dengan alasan lebih menghemat toner. Sebelum kucetak, Aku menceknya sekali lagi lewat layar monitor yang ada di salah satu sisi mesin. Kuputar berulang kali rollnya, hingga Aku yakin semua sudah benar dan Aku tinggal memencet tombol ‘print’. Mesin mulai mengerjakan tugasnya. Satu per satu lembaran foto keluar dari mesin itu. Selama kurang lebih lima belas menit mesin itu bekerja. Merubah 36 film menjadi 36 foto yang bercerita. Meski hanya dalam bentuk hitam putih, tapi semua objek nampak jelas. Sehingga tak jadi masalah, meskipun hanya kucetak dalam mode grayscale.
Setelah lima belas menit berlalu, dan mesin telah selesai bekerja, segera kuambil hasil cetakan fotoku tadi dari photo tray. Selanjutnya, Aku mematikan mesin itu, merapikan alat-alat yang ku gunakan dan Aku keluar dari ruangan gelap. Sekali lagi, lagi, dan lagi Aku melihat jam tanganku. Jarum analog pada jam tanganku sudah menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Itu artinya Aku telah bekerja kurang lebih selama dua setengah jam. Begitu menyadari hal tersebut, badanku langsung terasa amat lelah. Seluruh persendianku terasa agak sakit ketika digerakkan. Dan kepalaku terasa agak berat. Kucoba untuk berjalan menuju kamar tidur, namun karena tubuhku serasa tak kuasa menahan kelelahan yang amat sangat, akhirnya Aku ambruk di sofa yang terletak di ruang tengah. Tak kupikirkan lagi foto-foto yang kugenggam berceceran jatuh di lantai. Untuk sementara waktu, Aku tidak ingat apa-apa lagi.
Waktu terus berjalan. Seiring berjalannya waktu, suara-suara yang ada di kepalaku makin keras memanggil-manggil namaku. Akupun terjaga. Dan hal itu pasti terjadi tiap malam. Sehingga, di tengah tidurku Aku pasti terjaga untuk sesaat karena mendengar suara-suara itu. Sungguh misteri bagiku. Suara itu, di dalam kepalaku, adalah suara yang belum pernah kudengar sebelumnya. Dan Aku tak pernah mengerti, mengapa hal ini selalu terjadi tiap malam. Sehingga, sering Aku biarkan saja karena setelah Aku tidur kembali suara itu tak terdengar lagi. Mataku kembali terpejam…
Pagiku dikejutkan oleh suara weker yang berdering keras sekali dari kamar tidurku. Sengaja kusetel dengan suara yang lumayan keras supaya Aku bisa terbangun di pagi hari. Aku pun beranjak dari sofa dan berjalan menuju kamar untuk mematikan wekerku. Setelah mematikan weker, Aku menuju ke kamar mandi untuk melakukan rutinitas pagiku. Saat sedang asyiknya berada di kamar mandi, tiba-tiba ada seseorang berteriak-teriak memanggilku dari luar rumah.
“Honey…!, Honey….! Where Are You…?” teriaknya
“Yes, I’m here, wait a moment….!” jawabku.
“Oke, honey…” jawabnya sekali lagi.
Kupercepat rutinitas pagi hariku dan segera berlari menuju pintu kamar tamu. Namun, ketika melintas di ruang tengah Aku melihat foto-fotoku semalam tercecer di lantai. Kontan saja, Aku segera mengumpulkan foto-foto itu dan menyimpannya di bawah sofa. Setelah itu, Aku langsung menuju kamar, merapikan baju, dan menyemprotkan parfum. Tahu sendirilah, Aku belum mandi. Yakin telah rapi, Aku pun berjalan tenang menuju pintu kamar tamu. Kutengok sekilas, dan terlihat dia sedang berdiri di teras rumah. Segera kubuka pintu itu, dan menyambutnya dengan ramah. Dia membalas sambutanku dengan menghampiriku, merapat ke tubuhku dan memberiku sebuah kiss. Hal itu tak berlangsung lama, karena dengan sengaja, Aku melepas diri untuk mempersilakannya masuk. Dia pun mengerti. Tetapi, setelah dia masuk ke dalam rumahku, tampaknya dia malah menjadi tidak mengerti. Melihat isi rumahku yang seperti kapal pecah, menjadi sebuah pengalaman tersendiri baginya. Tapi tidak buatku. Aku sebenarnya cinta pada kebersihan dan kerapian. Tetapi, gara-gara semalam pulang terlalu larut dan pagi ini Aku belum sempat beres-beres, alhasil sebuah pemandangan baru yang fenomenal berhasil dibuat. Aku menjelaskan hal ini padanya. Dan akhirnya, tampak dia mulai mengerti. 
Selayaknya seorang tamu, kusuguhkan segelas limun dan makanan kecil untuknya. Selagi dia menikmati makanan dan minuman yang kusuguhkan, Aku mulai membuka pembicaraan dengannya….
“Pagi-pagi sekali tumben datang kemari, ada apa?” tanyaku padanya.
“Gak ada apa-apa koq, ya cuman pengen nengokin kamu aja…” jawabnya padaku.
“Wah, makasih banget lho udah ditengokin” kataku.
“gak apa-apa kok, lagian Aku tahu jika kamu sibuk karena pekerjaanmu sebagai fotografer lepas. So, kamu musti nepatin deadline yang dikasih ama redaktur” katanya polos.
“wah, beneran. Aku jadi bener-bener gak enak ma kamu.” kataku kembali.
“udah, gak apa-apa. Yang penting kamu tetap semangat. Jalani apa yang sudah menjadi pekerjaanmu dan tekuni.” katanya sambil memberi semangat kepadaku.
“iya, deh. Kalo gitu habis nee Aku langsung berangkat kerja. Biar bisa nepatin deadline” kataku menanggapinya.
“o, iya sekalian deh, Aku juga mau pamit. Kayaknya jam kuliah gak bisa dimundurin deh. And, Aku takut telat.” katanya sambil beranjak dari tempat duduknya.
“Eh, iya. Wah malah jadi ngrepotin kamu nee. Datang ke tempatku yang berantakan nee. Ntar kalo kamu telat n dimarahin ma dosen, Aku minta maaf lho.” kataku sembari mengantarnya ke pintu depan.
“Udah, gak apa-apa. Gak usah dipikirin lagi ya, say.” katanya menerima permintaan maafku.
Sebelum ia pergi, sekali lagi, ia memelukku dan memberikan sebuah kiss kepadaku. Kali ini cukup lama, hingga ia melepaskan sendiri pelukannya dan pergi meninggalkanku sembari melambaikan tangan. Ia pun pergi dan Aku kembali dalam kesendirian. Setelah pertemuan dengannya pagi ini, Aku menjadi bingung. Apakah Aku harus mengurungkan niatku untuk ‘mempublikasikan’ foto-foto itu, atau tetap ‘mempublikasikannnya’. Karena, dari tiap kata yang keluar dari mulutnya selalu membuatku yakin akan dirinya. Namun keyakinan itu belum penuh benar karena saat ini Ia banyak menghabiskan waktu dengan seorang lelaki lain. Pikirku, siapakah laki-laki itu?. Mengapa Ia sangat akrab dengan laki-laki itu? Bahkan tiap sore selalu pergi ke tempat yang romantis, menghabiskan waktu senja berdua. Siapa laki-laki itu?
Sambil menyimpan seluruh pertanyaan-pertanyaan yang terus berputar di kepalaku, Aku mulai bersiap-siap untuk bekerja. Aku mempersiapkan segala peralatan yang akan kubawa. Mulai dari kamera, berbagai macam lensa, roll film, dan tripod. Setelah semua siap, Aku kembali menyelesaikan rutinitas pagiku dengan mandi dan sarapan. Kemudian memakai pakaian dinas lengkap dengan topi dan tanda pengenal ‘Pers’. Dalam sekejap Aku terlihat seperti juru kamera resmi, tetapi faktanya Aku hanyalah fotografer lepas. Kemudian kukeluarkan sepeda motorku, dan tak lupa juga kukunci rumahku. Yakin semua sudah terkunci, Aku berangkat. Sekali lagi, Aku menyusuri jalanan untuk mencari momen dan menangkapnya di belakang lensa. Pertama kususuri jalan Bantul. Dari utara ke selatan bolak-balik belum kutemukan satu momen pun yang menarik yang dapat mengisi film-filmku. Hingga akhirnya, ketika Aku baru akan keluar dari jalan Bantul sebuah momen terjadi. Sebuah kecelakaan yang melibatkan antara sebuah bus penumpang, minibur, truk tronton, dan mobil sedan terjadi. Secara langsung Aku melihat proses kejadian itu. Namun Aku hanya dapat mengambil hasil akhir dari kejadian itu. Karena kamera hanya dapat mengambil sebuah momen dan tak dapat secara simultan. Aku langsung memakirkan motorku di tempat yang aman. Kemudian Aku langsung berlari menuju ke lokasi kecelakaan itu. Dengan cepat Aku menarik satu film, mentarget, dan mengambilnya. Beberapa kali Aku menekan tombol shutter dan berhasil mendapatkan beberapa momen. Namun betapa terkejutnya Aku, ketika menemukan siapa yang berada di dalam mobil sedan itu….
Dia berlumuran darah!. Kulihat kepalanya terus mengucurkan darah. Kemungkinan besar kepalanya terbentur dashboard. Dan kulihat disisinya, seorang lelaki yang ada di dalam cerita fotoku. Tanpa pikir panjang, Aku langsung berusaha memberikan pertolongan. Sial! Pintunya masih terkunci dari dalam. Kemudian Aku berteriak minta tolong pada orang-orang sekitar. Mendengar teriakanku, sekitar sepuluh orang berlari datang menghampiriku. Ada yang membawa batu, ada yang membawa kain sarung, ada yang membawa peralatan obat pertolongan pertama, semuanya berusaha membantuku. Seorang lelaki yang datang sambil membawa batu tadi dengan cepat langsung menghantamkannya ke kaca pintu mobil. Usahanya berhasil. Kaca pecah berkeping-keping, dan hasilnya pintu mobil dapat dibuka. 
Beberapa orang lainnya kemudian menyeret keluar dia dan lelaki yang berada di sisinya. Sesampainya di luar mobil, mereka berdua langsung ditidurkan di atas rumput pembatas jalan. Keduanya dalam kondisi tak sadarkan diri dan dengan luka yang cukup parah di bagian kepala. Melihat hal itu, Aku langsung melepaskan slayerku dan membalutkannya di kepalanya. Aku berharap usahaku ini dapat mengurangi efek benturan tadi. Sehingga memberikannya cukup waktu hingga polisi dan ambulans datang. Darah yang mengalir dari kepalanya mulai berkurang. Tampaknya usahaku berhasil. Luka di kepalanya dapat kutahan. Sehingga harapan ia dapat pulih makin besar. Berbeda dengan lelaki yang ada di sisinya. Tampaknya ia sangat kritis. Selain mengalami luka yang sama di bagian kepala, tampaknya ia juga mengalami patah di bagian lengan dan bagian kaki. Luka di bagian kepala sudah dapat teratasi, namun bagian yang patah belum dapat diberikan pertolongan pertama mengingat ketersediaan alat kurang memadahi. Dengan terpaksa tenaga medis sangat dibutuhkan saat ini.
Aku dan orang-orang yang membantuku terus menunggu kedatangan polisi dan tenaga medis. Hingga setengah jam menunggu belum tiba juga. Sepuluh menit kemudian baru kudengar raungan sirine. Ya, dari kejauhan tampak mobil patroli polisi beserta beberapa unit mobil ambulans tampak makin mendekat. Aku segera berdiri dan melambaikan tanganku. Dan tampaknya salah satu dari iring-iringan mobil itu ada yang melihat lambaianku. Karena salah satu ambulans terlihat memperlambat lajunya dan menepi ke arahku. Tepat di depan Aku berdiri mobil ambulans itu berhenti. Kemudian dari dalam mobil keluar beberapa orang berbaju putih, lengkap membawa tandu dan peralatan medis. Salah satu dari mereka memerintahkanku dan orang-orang disekelilingku untuk menyingkir. Aku menurut saja. Aku mundur beberapa langkah untuk memberikan ruang bagi petugas medis. Aku melihat petugas medis itu memberikan pertolongan kepadanya. Ada yang memberi obat penenang, iodium, perban, dan sebagainya. Semuanya untuk mempertahankan hidupnya. Yakin dia akan baik-baik saja, Aku pun meninggalkannya. Aku pun segera meneruskan pekerjaanku. Kuambil beberapa gambar lagi dan dengan segera kutinggalkan tempat itu. Percayalah, menjadi seorang fotografer adalah sebuah konflik tersendiri. Antara harus menjalankan tugas dengan menolong orang. Sering hal seperti ini membutuhkan suatu pengorbanan. Bukan karena tidak memiliki jiwa sosial untuk menolong sesama, namun semata-mata hanya untuk mendapatkan suatu momen yang fresh dan benar-benar baru saja terjadi. Itulah yang sering membuat hatiku bergetar. Meski di belakang lensa, namun yang menjadi objeknya adalah orang yang sangat membutuhkan pertolongan. Antara tega dengan tidak, Aku harus tega.
Beberapa hari setelah kecelakaan naas yang menimpa dirinya, Aku berencana menjenguk dirinya di rumah sakit. Seperti biasanya, Aku melakukan pekerjaanku terlebih dahulu sebelum melakukan hal yang lain. Mencari momen-momen dan menangkapnya dengan kamera. Semua ini kulakukan selain hobi, juga karena untuk memenuhi kebutuhan sehari-hariku. Tiga ratus dolar (Tiga juta rupiah) per foto sangat membantu buat kehidupanku. Selain dapat digunakan untuk membayar sewa kontrakan, uang itu juga dapat kugunakan untuk membiayai hobiku. Hobiku ini terbilang cukup mahal. Dilihat dari harga per roll film, yang sehari tidak cukup satu. Listrik yang digunakan untuk cuci cetak. Semuanya menghabiskan banyak uang. Oleh karena itu, Aku selalu mencari dan menangkap momen-momen terbaik supaya fotoku dapat diterima.
Pukul empat sore adalah batas waktu Aku bekerja. Aku segera melanjutkan rencana untuk menjenguknya di rumah sakit. Mampir sebentar di toko roti, dan membelikannya beberapa potong roti kiranya cukup untuk obat bagi dirinya. Setelah itu, kuhentikan sebuah taksi dan Aku meminta kepada sopir untuk diantar ke sebuah rumah sakit internasional di Yogyakarta. Sang sopir menerima permintaanku, dan dalam waktu singkat taksi yang kutumpangi telah bergerak meninggalkan toko roti itu untuk menuju ke rumah sakit. Selama di perjalanan Aku terus membayangkan akan dirinya, cemas akan keadaannya. Karena sewaktu kecelakaan, ia terluka cukup parah dan mengeluarkan banyak darah. Yang kutakutkan ialah, ia mengalami gegar otak sehingga sebagian memori terindahnya rusak. Aku terus memikirkan semua hal terburuk yang mungkin terjadi kepada dirinya. Ini kulakukan supaya Aku bisa menghadapi semua kemungkinan hal-hal terburuk itu. Terus berpikir, terus berpikir, hingga tak tersadar jika taksi yang kutumpangi telah berhenti di rumah sakit dimana ia dirawat. Aku disadarkan oleh sopir taksi tersebut. Ketika tersadar kutengok ke arah kiriku. Sebuah rumah sakit yang megah, bersih, dan rapi ada di sisiku. Aku segera keluar dari taksi. Tak lupa kubayarkan ongkosnya sesuai dengan argo. Dan terakhir kuucapkan terima kasih kepada sopir taksi itu. Segera setelah taksi itu pergi, Aku masuk ke dalam rumah sakit. Kemudian menuju ke bagian informasi untuk menanyakan di mana ia dirawat. Setelah mendapatkan informasi, Aku pun langsung menuju ke kamarnya. Kamarnya terletak di gedung B lantai 3 no 24. Supaya lebih cepat, Aku pun melewati jalan-jalan pintas yang ada dan menggunakan ekskalator yang tersedia. Tak sampai sepuluh menit Aku tiba di lantai 3 gedung B. Kini Aku hanya tinggal mencari kamarnya.
Setibanya di kamar yang bertuliskan angka 24 di pintunya, Aku tidak langsung masuk. Dari kaca jendela kecil di pintu, Aku melongok ke dalam. Dan ternyata ia sedang tidur. Karena Aku merasa di dalam kamarnya tak ada siapapun, Aku memutuskan untuk masuk. Kubuka pintu pelan-pelan agar tak mengganggu tidurnya. Kemudian Aku masuk dan duduk di sebelah tempat ia berbaring. Kuperhatikan luka di kepalanya sudah tampak lebih baik dengan balutan perban yang rapi. Dan selang oksigen yang masih berada di lubang hidungnya, tangannya yang masih penuh luka dan masih dimasuki jarum infus. Aku merasa sangat kasihan padanya. Sehingga kuputuskan untuk segera pergi agar tidak mengganggu istirahatnya. Setelah kutaruh roti yang kubeli tadi di sebuah meja kecil, Aku mulai melangkah pergi. Pelan-pelan kuberjalan supaya tidak menimbulkan suara. Namun ketika Aku akan membuka pintu, kudengar suara lirih dan lemah memanggil namaku. Aku segera menoleh dan kulihat ia terbangun dari tidurnya. Kubalikkkan langkahku dan berjalan mendekatinya. Ketika ku tiba di sisi tempat ia berbaring, Aku melihat ia menangis. Satu persatu air matanya meleleh ke pipinya. Dengan cepat, langsung kuambil beberapa lembar tisu dan mengusapkannya dengan lembut di pipinya. Kubelai rambutnya dan Aku berusaha memberikan rasa aman kepadanya. Namun ia terus menangis. Tampaknya ada sesuatu yang dalam di dalam hatinya sehingga ia menangis.
“Udah, jangan nangis lagi….” kataku kepadanya.
Namun ia tetap terisak-isak menangis. Aku berusaha mengerti keadaan akan dirinya. Mengapa ia menangis, hingga suatu map yang tergeletak di atas meja menarik perhatianku. Sambil terus membelai rambutnya, Aku berusaha mengetahui isi map itu. Kubuka dari sampul depan hingga belakang, ternyata map itu adalah rekam medisnya. Aku membaca salah satu halaman diantara sembilan halaman rekam medis itu dan menemukan hal yang membuatku benar-benar tidak percaya. Satu baris yang bertuliskan: DIKARENAKAN SYARAF MATA RUSAK DAN PRESENTASE KESEMBUHAN ADALAH KURANG DARI 20%, MAKA PASIEN DINYATAKAN TIDAK DAPAT MELIHAT TOTAL (BUTA PERMANEN).
Ia tak dapat melihat!, tak dapat melihat apapun lagi!, Ia buta. Dan kini Aku mengerti mengapa ia menangis. Ia tak mampu melihat lagi, apa yang ada di sekelilingnya. Aku terus berusaha menenangkan dirinya. Tak kupikirkan lagi siapa ia, dan apa yang telah ia perbuat kepadaku. Yang kupikirkan sekarang adalah bagaimana caranya memberikan harapan yang positif kepadanya. Bahwa, meski ia buta, ia tetap dapat hidup seperti halnya orang normal lainnya. Sementara aku terus berpikir, tanganku tak henti-hentinya membelai-belai rambutnya secara perlahan. Hingga akhirnya ia berhenti menangis dan berbisik kepadaku.
“Alex, maafkan diriku…, Aku telah mengkhianatimu….”
Mendengar bisikannya, Aku tak dapat berkata apa-apa. Aku tetap diam hingga ia membisikkan kembali kata-kata itu.
“Alex, maafkan diriku…, Aku telah mengkhianatimu….”
Aku tetap diam, dan ia melanjutkan bisikannya.
“Alex, maafkan diriku…, Aku telah mengkhianatimu…. Mungkin ini adalah karma yang aku terima akibat perbuatanku kepadamu.”
Setelah ia membisikkan beberapa kata itu kepadaku, Aku pun mulai berbicara.
“Mengenai hal itu.., janganlah kau bicarakan lagi…, Aku juga tidak senang jika kau menganggap kejadian ini adalah karma hasil perbuatanmu kepadaku…, Kau tahu profesiku? Aku adalah seorang fotografer. Seorang fotografer sepertiku, mengetahui banyak hal yang bahkan orang-orang belum mengetahuinya. Mengenai dirimu, Aku telah mengetahuinya beberapa hari yang lalu. Sebelum kau sempat bercerita kepadaku, Aku sudah mengetahuinya…. Aku tetap menyimpan rahasiaku ini hingga Aku berharap kau sendiri yang dapat menceritakannya. Namun seperti yang kau ketahui sekarang.., rupanya keadaan berubah…, Aku sudah memaafkanku sejak lama, Aku sudah ikhlas, Aku telah rela…, karena bagiku.., inilah jalan hidup yang harus Aku tempuh….”
Mendengar apa yang Aku katakan kepadanya, Ia kembali menangis dan berkata,
“Mengapa Kau tidak mengatakan hal itu sedari dulu…??!!!! Mengapa Kau terus merahasiakannya hingga Aku harus menderita seperti ini…???!!!!, Mengapaa…..??!!!!!”
Akupun terdiam sejenak dan kemudian menjawab apa yang ia tanyakan kepadaku.
“Aku menunggu kejujuranmu…, Ya, Aku hanya menunggu kejujuranmu dan ketulusanmu… Karena secara jujur dan tulus Aku telah menyatakan bahwa Aku sungguh mencintaimu, menyayangimu.., Hingga Aku berpikir, demi orang yang kucintai dan kusayangi, merahasiakan suatu hal yang penting dan pribadi dimana kejujuran dan ketulusan sangat dibutuhkan, Aku rela menunggu…, “
Sekali lagi, mendengar apa yang Aku katakan, Ia menangis…, Kemudian ia berkata..,
“Alex, sekarang Aku ingin jujur kepadamu. Lelaki yang bersamaku itu adalah Charles. Dia adalah teman sekolahku semasa SMA yang amat baik dan ramah kepadaku. Dari dulu ia amat menyukaiku dan suatu ketika, saat kami berdua tak sengaja bertemu, ia menyatakan cintanya kepadaku. Sungguh saat itu Aku bingung Alex, apa yang harus Aku katakan kepadanya jika Aku telah memilikimu…, Hingga, karena Aku tak ingin menyakiti perasaannya, Aku pun membalas pernyataan cintanya kepadaku. Namun sejujurnya, Alex.., Aku masih tetap mencintaimu…,”
Akupun terdiam sejenak.., berusaha merasakan dan memikirkan apa yang ia katakan. Kemudian Aku berbisik,
“Mengapa Kau tidak jujur….? —- Setidaknya kau bisa mengatakan yang sebenarnya… Tak perlu kau berbohong…”
“Aku bingung Alex…!!!, Aku bingung…..!” Teriaknya lirih kepadaku.
“Aku sepenuhnya percaya kepadamu. Namun…, sesungguhnya…, jauh sebelum Aku mendengar apa yang kau katakan pada hari ini.., Aku telah rela…” Bisikku kepadanya, halus…
“Apa maksudmu, Alex….?” Tanyanya lirih kepadaku..,
Akhirnya, setelah sekian lama kutahan kata-kata itu…, kuucapkan juga meskipun lirih..,
“Maaf…, Aku harus pergi sekarang…, Aku masih mempercayaimu, namun inilah keputusan yang harus Aku ambil. Demi kebaikanku, demi kebaikanmu…,”
Aku pun menyandarkan tubuhnya kembali ke atas pembaringan dan mundur beberapa langkah.
“Alex, kau akan pergi meninggalkanku…? Alex…, di manakah kau…? Alex….!!! Alex….!!! Jangan tinggalkan diriku….!!!” Teriaknya sambil meraba-raba ke sekelilingnya mencoba meraih tubuhku. Namun, Aku telah mundur beberapa langkah dan terlampau jauh dari raihan tangannya. Kulihat ia menangis, terus menangis, sambil terus meraba-raba dan memanggil-manggil namaku. Aku terus melihatnya. Dalam hatiku, ada perasaan tak tega melihatnya sekarang ini. Namun, inilah keputusan yang harus Aku ambil demi mempertahankan kejujuran dan ketulusan hati.
Setelah sekian lama ia berbuat demikian, akhirnya ia pun berangsur-angsur tenang. Namun, sisa-sisa tangisannya masih dapat kudengar lirih. Dan di tengah isak tangisnya, kudengar ia berkata,
“Alex, di manapun kau berada…, jika kau mendengarku…, Aku mohon.., maafkanlah diriku…, Aku benar-benar menyesal telah melakukan hal itu kepadamu.., Aku benar-benar menyesal…, Alex…, Kini Aku tak dapat berbuat apa-apa…, Alex…., Maafkan Aku Alex…….”
Aku masih beberapa langkah jauhnya dari tempat pembaringannya. Aku terdiam sejenak. Kemudian Aku mendekat perlahan tanpa suara, membungkuk, dan kukecup dahinya sambil berbisik…, “Aku di sini…, Aku telah memaafkanmu. Aku telah benar-benar memaafkanmu. Kini, Aku akan pergi, namun Aku kan tak kan melupakanmu…, Selamat tinggal…,”
Kemudian Aku pun meninggalkannya dengan perlahan, sunyi, tanpa suara menuju pintu keluar. Hingga Aku tepat berada di depan pintu dan bersiap keluar, Aku masih dapat mendengar suaranya.
“Alex………”
Aku menoleh ke arah pembaringannya sekali lagi sebelum keluar meninggalkannya. Kemudian, ku buka pintu perlahan, ku langkahkan kakiku keluar dari ruang itu dan kututup kembali pintu yang kan mulai memisahkan antara diriku dengan dirinya. Ku arahkan diriku tuk menuju pintu keluar rumah sakit dan berjalan ke arahnya. Dengan langkah gontai Aku berjalan dan mengambil ke-36 foto dari dalam tasku yang telah menjadi saksi bisu dalam hubunganku dengannya. Kulihat sekali foto-foto itu sebelum akhirnya ku menemukan tempat sampah dan membuangnya. Inilah kisahku sebagai seorang fotografer. Di mana sebuah realita kan terus terungkap meskipun hanya melalui sebuah kamera.
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2013. Harriz Fadillah - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger