Melihat mereka berdua sangat akrab, Aku merasa sakit. Meski hanya dari balik lensa kameraku, namun, bidikanku tepat mengenai hatiku. Ketahuilah, Aku adalah seorang fotografer. Aku selalu mencuri-curi kesempatan, untuk mencari, dan mengambil setiap momen yang paling berharga buatku. Meski kameraku adalah kamera butut. Dengan blitz, roll film, dan lensa sebagai senjatanya, Aku mampu mendapatkannya. Momen yang paling berharga. Terkadang Aku sering diusir orang, karena dianggap pengganggu. Terkadang Aku dibiarkan saja karena hanya dianggap sebagai lalat kecil yang tidak mengganggu. Atau, Aku lebih sering ditahan oleh kesalahanku yang mentarget “cewek-cewek sadar kamera”. Namun hal itu menjadikan hobiku sebagai sesuatu yang luar biasa, dan penuh tantangan. Termasuk hari ini. Tantangan tersendiri buat keteguhan hatiku di balik lensa atau merusak momen dengan mendatanginya.
Hari itu, adalah hari libur. Tepatnya liburan
sekolah. Hari sudah menjelang sore. Namun Aku tetap saja masih menyusuri
batangan rel kereta yang membujur dari Stasiun Lempuyangan hingga
Stasiun Tugu. Sambil menenteng kamera, Aku terus mencari objek yang
sekiranya dapat membuat film ku terkesan hidup. Hingga akhirnya Aku
melihat mereka berboncengan berdua, sambil berpegangan tangan sedang
berhenti di lampu merah dekat Malioboro. Dari atas jembatan kereta
secara jelas Aku melihatnya. Dan secara insting, Aku menarik kameraku,
mengganti lensanya dan membidik ke arah mereka berdua. Ya, dari
bidikanku terlihat jelas. Itulah cowok yang sering ia ceritakan. Sambil
membidik, Aku terus menarik roll film, dan menekan tombol shutter.
Hingga tak terasa 36 lembar film habis hanya untuk mereka berdua.
Kuturunkan kameraku dan Aku melihat mereka berlalu dari hadapanku. Dari
atas jembatan kereta ini Aku tak dapat berbuat apa-apa. Namun,
foto-fotokulah yang mampu dan akan berbicara.
Di tengah kesibukan membereskan kameraku, terdengar
klakson kereta yang makin keras dari belakangku. Menandakan sebuah
kereta melaju dan makin mendekat ke arahku. Aku segera turun dari
batangan rel yang kutelusuri dan kembali berjalan diantara dua rel yang
membujur. Tak kuhiraukan seberapa bisingnya suara kereta yang lewat di
sisiku. Bagiku, hal itu sudah menjadi makan malamku sehari-hari.
Sambil terus berjalan, Aku merapikan kembali
kameraku. Kulepaskan lensa jarak jauh dan kupasangkan kembali lensa 70mm
ku. Tak lupa juga Aku memutar balik roll film yang telah kuhabiskan
untuk bidikan jarak jauh terhebatku. Untuk alasan tertentu, hari ini
rasa sakitku serasa hilang begitu saja setelah kugenggam satu roll film
yang penuh dengan momen-momen tak terduga. Yang apabila Aku bawa ke
ruang gelap, deretan 36 film itu akan membuat sebuah cerita seru. Memang
inilah asyiknya menjadi seorang fotografer. Merubah sebuah momen
menjadi sebuah cerita.
Tak terasa sudah lima belas menit Aku berjalan. Dan
Stasiun Tugu telah tepat berada di hadapanku. Segera kucari sepeda
motorku di tempat parkir. Cukup memakan waktu juga, karena ternyata
motorku dipindahkan agak jauh ketengah. Dengan sedikit bantuan seorang
tukang parkir, Akupun meninggalkan stasiun….
Aku melaju dengan perlahan. Mengingat pada malam itu
tak seperti biasanya jalanan Malioboro penuh sesak dengan orang-orang.
Lalu lintas padat merayap, dan Aku hanya dapat melaju di bawah 20
km/jam. Meski suasana langit telah berubah menjadi gelap, Aku tetap tak
dapat bergerak bebas. Terhimpit diantara lalu lintas dan lalu lalang
orang. Aku menyerah.
Setelah sekian lama Aku terjebak di jalanan
Malioboro, akhirnya Bank Indonesia dan Bank BNI 46 tepat ada
dihadapanku. Jalanan yang lenggang dan luas kini tepat ada dihadapanku.
Dengan diterangi lampu jalan yang khas, suasana malam itu terasa seperti
suasana senja. Suasana malam yang gelap dan mencekam, kini digantikan
oleh suasana yang remang dan menentramkan. Ditemani oleh empat buah
gedung bank tua di sisi kanan, kiri, dan seberang jalan, menambah
indahnya suasana malam di Kotaku yang tercinta ini. Hingga semua
pikiranku serasa terhapus oleh indahnya suasana malam. Dan Aku merasa,
Aku dapat tersenyum kembali….
Aku mempercepat laju motorku. Setelah sempat melihat
jam tangan yang telah menunjukkan pukul delapan malam. Benar tak terasa
jika hari sudah benar benar beranjak malam. Dan saat ini, Aku masih
berada di jalan. Sambil terus melaju, Aku memikirkan rencana-rencana
yang akan kulakukan malam ini. Mengingat fisikku yang kelelahan, dan
keinginanku untuk membongkar hasil bidikanku di ruang gelap. Di samping
itu, Aku juga masih mempunyai pekerjaan rumahan yang belum sempat Aku
kerjakan dari tadi siang. Yakni makan. Dari tadi siang Aku merasa malas
sekali untuk makan. Dan kali ini rasa laparku perlu diobati.
Kutemukan sebuah tempat makan yang sekiranya mampu
memenuhi hasratku untuk makan. Aku mulai menepi. Kupakirkan motorku dan
Aku masuk ke tempat makan itu. Di tempat itu, Aku memesan sebuah masakan
dan minuman yang tersedia. Dan, wala, tak sampai sepuluh menit Aku
menunggu, pramusaji menghampiri mejaku sambil membawa makanan dan
minuman yang Aku pesan. Nampaknya sangat lezat. Udang dengan balutan
terigu dihiasi dengan selada, mentimun, tomat yang ditata melingkar, dan
satu mangkok kecil sambal bangkok menjadi menu utamanya. Sungguh lezat
tampaknya. Ditambah dengan nasi hangat dan puding coklat sebagai
penutupnya. Aku berpikir nampaknya Aku salah memilih menu. Karena menu
ini terlalu mewah buatku. Tetapi, mungkin perutku yang berbicara,
sehingga akal tak mampu melogikanya lagi.
Aku mulai makan. Kumulai dengan mencelupkan udang ke
dalam sambal bangkok kemudian kumakan bersama nasi. Pedas, tapi nikmat.
Itulah yang Aku rasakan. Terus saja Aku menikmati menu pesananku itu.
Hingga tiba-tiba, telepon genggamku berbunyi. Kurogoh sakuku untuk
mengambil telepon genggamku dan mengangkatnya. Ternyata, targetku tadi
sore yang menelepon.
“Honey, Are You free now?” Katanya.
“Sorry, Honey. But I really busy now…” kataku sambil terus mengunyah udang yang ada di dalam mulutku.
“Ooh, sorry. And what Are You doing now?” Tanyanya padaku.
“Oh, ya, you know. Now, making story is my hobby” jawabku sambil tersenyum.
“Making story? What story?” tanyanya kembali.
“Hahaha, just wait for it. oke? If I tell it to you now, it won’t a story again” kataku sambil tertawa.
“Okey honey, I’ll wait for your story” katanya padaku.
“Oke, Oke, maybe tonight I’ll finish it and then, in three days you will know my story” kataku kembali.
“Ya, honey. Maybe umm…, I want close our
conversation. Coz, I don’t want make you can’t finish the story. So,
umm… Good Night, Honey….” katanya sambil menggumam.
“Oh, ya, honey. Good Night too… Have a beautiful night….” kataku sambil menutup percakapanku dengannya.
Jujur saja, meski dia adalah tulen orang Indonesia,
namun ketika dia berkomunikasi dengan orang selalu menggunakan Bahasa
Inggris. Hal itulah yang kadang bikin Aku gelagapan. Tapi, malam ini,
Aku benar-benar akan membuat cerita….
Empat puluh lima menit kuhabiskan di tempat makan
itu. Aku merasa malam itu benar benar menjadi milikku. Di mana Aku hanya
sendiri, menikmati makanan, dan benar benar hanya ditemani oleh suasana
malam. Sekali lagi kutengok jam tanganku. Jarum jam sudah menunjuk di
angka sepuluh dan jarum menit masih belum menyentuh angka dua belas.
Melihat hari benar-benar telah larut malam, Aku putuskan untuk menyudahi
makan malamku. Kupanggil seorang pramusaji untuk membawakan billku. Ia
datang sambil membawa nampan kecil yang di tengahnya sudah ditaruh
sebuah bill. Setelah ia merendahkan nampannya dan memberikan isyarat
kepadaku, kuambil bill makan malamku. Kulihat, dan Aku berdiri kemudian
berjalan menuju kasir untuk membayarnya. Kutarik dompetku dari saku
belakang dan kuambil dua pecahan uang dua puluh ribuan. Kuberikan uang
itu pada petugas mesin kasir, dan Aku masih menerima kembalian satu
lembar pecahan dua ribuan. Kumasukkan uang kembalian itu ke dalam saku
bajuku dan Aku mulai beranjak meninggalkan tempat makan itu.
Aku mulai berjalan kembali. Kali ini tujuanku tak
lain adalah rumah. Dalam bayanganku, sesampainya di rumah Aku disambut
hangat oleh ruang gelapku tercinta. Yang akan menjadi partnerku dalam
membikin cerita. Namun, ternyata hal yang kuharapkan tidak terjadi.
Sesampainya di rumah, ternyata listrik di daerahku sedang padam.
Otomatis, alat cetak filmku takkan dapat berfungsi. Dan apabila padamnya
listrik ini cukup lama, tentu saja akan menjadikan usahaku tadi siang
menjadi sia-sia. Meskipun demikian, Aku masih berharap padamnya listrik
ini tidak berlangsung lama. Aku menunggu. Sambil menunggu, kunyalakan
beberapa lilin untuk menerangi sudut-sudut ruangan dalam rumahku. Cukup
terang dan menenangkan. Cahaya lilin yang bergoyang-goyang akibat
terpaan angin, membuat suasana malam makin menenangkan. Sehingga
pekerjaan membersihkan kamera beserta lensanya menjadi makin
menyenangkan.
Tepat pukul dua belas malam, listrik menyala.
Kupadamkan lilin satu persatu dan kutaruh kembali pada tempatnya. Tanpa
membuang waktu lagi, kutarik tas kameraku dan kubawa menuju ke ruang
gelap. Di sana, Aku akan membongkar salah satu roll film yang kugunakan
tadi siang. Terutama satu roll yang habis kugunakan untuk mentarget dari
atas jembatan kereta tadi siang. Namun, lagi-lagi rencanaku kembali
terhambat. Aku terlalu ceroboh untuk tidak menghangatkan mesin cetaknya
terlebih dahulu. Akibatnya, rencanaku harus mundur satu jam karena
menunggu siapnya mesin. Sambil menunggu, Aku mulai membongkar film.
Pertama, kugelapkan ruangan itu dengan menutup seluruh jendela dan
fentilasi. Kupastikan tidak ada cahaya sekecil apapun yang masih mampu
menembus masuk ke ruangan. Kemudian kuhidupkan lampu merahnya, dan
kumatikan juga lampu clearnya. Lampu merah ini tidak akan membakar film,
sehingga cukup aman jika film dibongkar dan dikeluarkan dari tabungnya.
Setelah semua siap, Aku mulai bekerja.
Kuambil sebuah pinset kecil untuk membuka lidah
rollnya. Setelah terbuka, kuputar-putar roll itu untuk mencari ujungnya.
Dan, “cleck” itulah suara kecil yang khas apabila ujung roll film
mengenai lidahnya. Kemudian Aku mengambil jarum kecil dan menarik roll
film itu. Penarikan Aku lakukan di dalam air. Supaya efek cahaya merah
tidak terlalu berpengaruh pada film. Satu sentakan kecil telah
melepaskan ikatan roll film itu dari tabungnya. Segera setelah terlepas,
Aku mencucinya dan memastikan semua bayangan yang tertangkap di film
terlihat jelas. Sehingga hasil cetakan akan sempurna nantinya.
Tepat satu jam Aku membongkar film dan mencucinya.
Tepat saat itu juga, mesin cetak juga telah siap. Inilah yang
kunantikan. Membuat cerita….
Segera saja kubawa film-film yang telah tercuci tadi
ke mesin cetak. Satu persatu, film-film tadi aku set ke dalam mesin. Tak
lupa juga glossy paper juga kumasukkan ke paper tray. Setelah siap
semuanya. Aku mulai mencetak. Pertama, Aku menset ukuran foto yang akan
dicetak. Kemudian pewarnaan kuset ke mode grayscale dengan alasan lebih
menghemat toner. Sebelum kucetak, Aku menceknya sekali lagi lewat layar
monitor yang ada di salah satu sisi mesin. Kuputar berulang kali
rollnya, hingga Aku yakin semua sudah benar dan Aku tinggal memencet
tombol ‘print’. Mesin mulai mengerjakan tugasnya. Satu per satu lembaran
foto keluar dari mesin itu. Selama kurang lebih lima belas menit mesin
itu bekerja. Merubah 36 film menjadi 36 foto yang bercerita. Meski hanya
dalam bentuk hitam putih, tapi semua objek nampak jelas. Sehingga tak
jadi masalah, meskipun hanya kucetak dalam mode grayscale.
Setelah lima belas menit berlalu, dan mesin telah
selesai bekerja, segera kuambil hasil cetakan fotoku tadi dari photo
tray. Selanjutnya, Aku mematikan mesin itu, merapikan alat-alat yang ku
gunakan dan Aku keluar dari ruangan gelap. Sekali lagi, lagi, dan lagi
Aku melihat jam tanganku. Jarum analog pada jam tanganku sudah
menunjukkan pukul setengah tiga pagi. Itu artinya Aku telah bekerja
kurang lebih selama dua setengah jam. Begitu menyadari hal tersebut,
badanku langsung terasa amat lelah. Seluruh persendianku terasa agak
sakit ketika digerakkan. Dan kepalaku terasa agak berat. Kucoba untuk
berjalan menuju kamar tidur, namun karena tubuhku serasa tak kuasa
menahan kelelahan yang amat sangat, akhirnya Aku ambruk di sofa yang
terletak di ruang tengah. Tak kupikirkan lagi foto-foto yang kugenggam
berceceran jatuh di lantai. Untuk sementara waktu, Aku tidak ingat
apa-apa lagi.
Waktu terus berjalan. Seiring berjalannya waktu,
suara-suara yang ada di kepalaku makin keras memanggil-manggil namaku.
Akupun terjaga. Dan hal itu pasti terjadi tiap malam. Sehingga, di
tengah tidurku Aku pasti terjaga untuk sesaat karena mendengar
suara-suara itu. Sungguh misteri bagiku. Suara itu, di dalam kepalaku,
adalah suara yang belum pernah kudengar sebelumnya. Dan Aku tak pernah
mengerti, mengapa hal ini selalu terjadi tiap malam. Sehingga, sering
Aku biarkan saja karena setelah Aku tidur kembali suara itu tak
terdengar lagi. Mataku kembali terpejam…
Pagiku dikejutkan oleh suara weker yang berdering
keras sekali dari kamar tidurku. Sengaja kusetel dengan suara yang
lumayan keras supaya Aku bisa terbangun di pagi hari. Aku pun beranjak
dari sofa dan berjalan menuju kamar untuk mematikan wekerku. Setelah
mematikan weker, Aku menuju ke kamar mandi untuk melakukan rutinitas
pagiku. Saat sedang asyiknya berada di kamar mandi, tiba-tiba ada
seseorang berteriak-teriak memanggilku dari luar rumah.
“Honey…!, Honey….! Where Are You…?” teriaknya
“Yes, I’m here, wait a moment….!” jawabku.
“Oke, honey…” jawabnya sekali lagi.
Kupercepat rutinitas pagi hariku dan segera berlari
menuju pintu kamar tamu. Namun, ketika melintas di ruang tengah Aku
melihat foto-fotoku semalam tercecer di lantai. Kontan saja, Aku segera
mengumpulkan foto-foto itu dan menyimpannya di bawah sofa. Setelah itu,
Aku langsung menuju kamar, merapikan baju, dan menyemprotkan parfum.
Tahu sendirilah, Aku belum mandi. Yakin telah rapi, Aku pun berjalan
tenang menuju pintu kamar tamu. Kutengok sekilas, dan terlihat dia
sedang berdiri di teras rumah. Segera kubuka pintu itu, dan menyambutnya
dengan ramah. Dia membalas sambutanku dengan menghampiriku, merapat ke
tubuhku dan memberiku sebuah kiss. Hal itu tak berlangsung lama, karena
dengan sengaja, Aku melepas diri untuk mempersilakannya masuk. Dia pun
mengerti. Tetapi, setelah dia masuk ke dalam rumahku, tampaknya dia
malah menjadi tidak mengerti. Melihat isi rumahku yang seperti kapal
pecah, menjadi sebuah pengalaman tersendiri baginya. Tapi tidak buatku.
Aku sebenarnya cinta pada kebersihan dan kerapian. Tetapi, gara-gara
semalam pulang terlalu larut dan pagi ini Aku belum sempat beres-beres,
alhasil sebuah pemandangan baru yang fenomenal berhasil dibuat. Aku
menjelaskan hal ini padanya. Dan akhirnya, tampak dia mulai mengerti.
Selayaknya seorang tamu, kusuguhkan segelas limun dan makanan kecil
untuknya. Selagi dia menikmati makanan dan minuman yang kusuguhkan, Aku
mulai membuka pembicaraan dengannya….
“Pagi-pagi sekali tumben datang kemari, ada apa?” tanyaku padanya.
“Gak ada apa-apa koq, ya cuman pengen nengokin kamu aja…” jawabnya padaku.
“Wah, makasih banget lho udah ditengokin” kataku.
“gak apa-apa kok, lagian Aku tahu jika kamu sibuk
karena pekerjaanmu sebagai fotografer lepas. So, kamu musti nepatin
deadline yang dikasih ama redaktur” katanya polos.
“wah, beneran. Aku jadi bener-bener gak enak ma kamu.” kataku kembali.
“udah, gak apa-apa. Yang penting kamu tetap semangat.
Jalani apa yang sudah menjadi pekerjaanmu dan tekuni.” katanya sambil
memberi semangat kepadaku.
“iya, deh. Kalo gitu habis nee Aku langsung berangkat kerja. Biar bisa nepatin deadline” kataku menanggapinya.
“o, iya sekalian deh, Aku juga mau pamit. Kayaknya
jam kuliah gak bisa dimundurin deh. And, Aku takut telat.” katanya
sambil beranjak dari tempat duduknya.
“Eh, iya. Wah malah jadi ngrepotin kamu nee. Datang
ke tempatku yang berantakan nee. Ntar kalo kamu telat n dimarahin ma
dosen, Aku minta maaf lho.” kataku sembari mengantarnya ke pintu depan.
“Udah, gak apa-apa. Gak usah dipikirin lagi ya, say.” katanya menerima permintaan maafku.
Sebelum ia pergi, sekali lagi, ia memelukku dan
memberikan sebuah kiss kepadaku. Kali ini cukup lama, hingga ia
melepaskan sendiri pelukannya dan pergi meninggalkanku sembari
melambaikan tangan. Ia pun pergi dan Aku kembali dalam kesendirian.
Setelah pertemuan dengannya pagi ini, Aku menjadi bingung. Apakah Aku
harus mengurungkan niatku untuk ‘mempublikasikan’ foto-foto itu, atau
tetap ‘mempublikasikannnya’. Karena, dari tiap kata yang keluar dari
mulutnya selalu membuatku yakin akan dirinya. Namun keyakinan itu belum
penuh benar karena saat ini Ia banyak menghabiskan waktu dengan seorang
lelaki lain. Pikirku, siapakah laki-laki itu?. Mengapa Ia sangat akrab
dengan laki-laki itu? Bahkan tiap sore selalu pergi ke tempat yang
romantis, menghabiskan waktu senja berdua. Siapa laki-laki itu?
Sambil menyimpan seluruh pertanyaan-pertanyaan yang
terus berputar di kepalaku, Aku mulai bersiap-siap untuk bekerja. Aku
mempersiapkan segala peralatan yang akan kubawa. Mulai dari kamera,
berbagai macam lensa, roll film, dan tripod. Setelah semua siap, Aku
kembali menyelesaikan rutinitas pagiku dengan mandi dan sarapan.
Kemudian memakai pakaian dinas lengkap dengan topi dan tanda pengenal
‘Pers’. Dalam sekejap Aku terlihat seperti juru kamera resmi, tetapi
faktanya Aku hanyalah fotografer lepas. Kemudian kukeluarkan sepeda
motorku, dan tak lupa juga kukunci rumahku. Yakin semua sudah terkunci,
Aku berangkat. Sekali lagi, Aku menyusuri jalanan untuk mencari momen
dan menangkapnya di belakang lensa. Pertama kususuri jalan Bantul. Dari
utara ke selatan bolak-balik belum kutemukan satu momen pun yang menarik
yang dapat mengisi film-filmku. Hingga akhirnya, ketika Aku baru akan
keluar dari jalan Bantul sebuah momen terjadi. Sebuah kecelakaan yang
melibatkan antara sebuah bus penumpang, minibur, truk tronton, dan mobil
sedan terjadi. Secara langsung Aku melihat proses kejadian itu. Namun
Aku hanya dapat mengambil hasil akhir dari kejadian itu. Karena kamera
hanya dapat mengambil sebuah momen dan tak dapat secara simultan. Aku
langsung memakirkan motorku di tempat yang aman. Kemudian Aku langsung
berlari menuju ke lokasi kecelakaan itu. Dengan cepat Aku menarik satu
film, mentarget, dan mengambilnya. Beberapa kali Aku menekan tombol
shutter dan berhasil mendapatkan beberapa momen. Namun betapa
terkejutnya Aku, ketika menemukan siapa yang berada di dalam mobil sedan
itu….
Dia berlumuran darah!. Kulihat kepalanya terus
mengucurkan darah. Kemungkinan besar kepalanya terbentur dashboard. Dan
kulihat disisinya, seorang lelaki yang ada di dalam cerita fotoku. Tanpa
pikir panjang, Aku langsung berusaha memberikan pertolongan. Sial!
Pintunya masih terkunci dari dalam. Kemudian Aku berteriak minta tolong
pada orang-orang sekitar. Mendengar teriakanku, sekitar sepuluh orang
berlari datang menghampiriku. Ada yang membawa batu, ada yang membawa
kain sarung, ada yang membawa peralatan obat pertolongan pertama,
semuanya berusaha membantuku. Seorang lelaki yang datang sambil membawa
batu tadi dengan cepat langsung menghantamkannya ke kaca pintu mobil.
Usahanya berhasil. Kaca pecah berkeping-keping, dan hasilnya pintu mobil
dapat dibuka.
Beberapa orang lainnya kemudian menyeret keluar dia dan
lelaki yang berada di sisinya. Sesampainya di luar mobil, mereka berdua
langsung ditidurkan di atas rumput pembatas jalan. Keduanya dalam
kondisi tak sadarkan diri dan dengan luka yang cukup parah di bagian
kepala. Melihat hal itu, Aku langsung melepaskan slayerku dan
membalutkannya di kepalanya. Aku berharap usahaku ini dapat mengurangi
efek benturan tadi. Sehingga memberikannya cukup waktu hingga polisi dan
ambulans datang. Darah yang mengalir dari kepalanya mulai berkurang.
Tampaknya usahaku berhasil. Luka di kepalanya dapat kutahan. Sehingga
harapan ia dapat pulih makin besar. Berbeda dengan lelaki yang ada di
sisinya. Tampaknya ia sangat kritis. Selain mengalami luka yang sama di
bagian kepala, tampaknya ia juga mengalami patah di bagian lengan dan
bagian kaki. Luka di bagian kepala sudah dapat teratasi, namun bagian
yang patah belum dapat diberikan pertolongan pertama mengingat
ketersediaan alat kurang memadahi. Dengan terpaksa tenaga medis sangat
dibutuhkan saat ini.
Aku dan orang-orang yang membantuku terus menunggu
kedatangan polisi dan tenaga medis. Hingga setengah jam menunggu belum
tiba juga. Sepuluh menit kemudian baru kudengar raungan sirine. Ya, dari
kejauhan tampak mobil patroli polisi beserta beberapa unit mobil
ambulans tampak makin mendekat. Aku segera berdiri dan melambaikan
tanganku. Dan tampaknya salah satu dari iring-iringan mobil itu ada yang
melihat lambaianku. Karena salah satu ambulans terlihat memperlambat
lajunya dan menepi ke arahku. Tepat di depan Aku berdiri mobil ambulans
itu berhenti. Kemudian dari dalam mobil keluar beberapa orang berbaju
putih, lengkap membawa tandu dan peralatan medis. Salah satu dari mereka
memerintahkanku dan orang-orang disekelilingku untuk menyingkir. Aku
menurut saja. Aku mundur beberapa langkah untuk memberikan ruang bagi
petugas medis. Aku melihat petugas medis itu memberikan pertolongan
kepadanya. Ada yang memberi obat penenang, iodium, perban, dan
sebagainya. Semuanya untuk mempertahankan hidupnya. Yakin dia akan
baik-baik saja, Aku pun meninggalkannya. Aku pun segera meneruskan
pekerjaanku. Kuambil beberapa gambar lagi dan dengan segera kutinggalkan
tempat itu. Percayalah, menjadi seorang fotografer adalah sebuah
konflik tersendiri. Antara harus menjalankan tugas dengan menolong
orang. Sering hal seperti ini membutuhkan suatu pengorbanan. Bukan
karena tidak memiliki jiwa sosial untuk menolong sesama, namun
semata-mata hanya untuk mendapatkan suatu momen yang fresh dan
benar-benar baru saja terjadi. Itulah yang sering membuat hatiku
bergetar. Meski di belakang lensa, namun yang menjadi objeknya adalah
orang yang sangat membutuhkan pertolongan. Antara tega dengan tidak, Aku
harus tega.
Beberapa hari setelah kecelakaan naas yang menimpa
dirinya, Aku berencana menjenguk dirinya di rumah sakit. Seperti
biasanya, Aku melakukan pekerjaanku terlebih dahulu sebelum melakukan
hal yang lain. Mencari momen-momen dan menangkapnya dengan kamera. Semua
ini kulakukan selain hobi, juga karena untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hariku. Tiga ratus dolar (Tiga juta rupiah) per foto sangat
membantu buat kehidupanku. Selain dapat digunakan untuk membayar sewa
kontrakan, uang itu juga dapat kugunakan untuk membiayai hobiku. Hobiku
ini terbilang cukup mahal. Dilihat dari harga per roll film, yang sehari
tidak cukup satu. Listrik yang digunakan untuk cuci cetak. Semuanya
menghabiskan banyak uang. Oleh karena itu, Aku selalu mencari dan
menangkap momen-momen terbaik supaya fotoku dapat diterima.
Pukul empat sore adalah batas waktu Aku bekerja. Aku
segera melanjutkan rencana untuk menjenguknya di rumah sakit. Mampir
sebentar di toko roti, dan membelikannya beberapa potong roti kiranya
cukup untuk obat bagi dirinya. Setelah itu, kuhentikan sebuah taksi dan
Aku meminta kepada sopir untuk diantar ke sebuah rumah sakit
internasional di Yogyakarta. Sang sopir menerima permintaanku, dan dalam
waktu singkat taksi yang kutumpangi telah bergerak meninggalkan toko
roti itu untuk menuju ke rumah sakit. Selama di perjalanan Aku terus
membayangkan akan dirinya, cemas akan keadaannya. Karena sewaktu
kecelakaan, ia terluka cukup parah dan mengeluarkan banyak darah. Yang
kutakutkan ialah, ia mengalami gegar otak sehingga sebagian memori
terindahnya rusak. Aku terus memikirkan semua hal terburuk yang mungkin
terjadi kepada dirinya. Ini kulakukan supaya Aku bisa menghadapi semua
kemungkinan hal-hal terburuk itu. Terus berpikir, terus berpikir, hingga
tak tersadar jika taksi yang kutumpangi telah berhenti di rumah sakit
dimana ia dirawat. Aku disadarkan oleh sopir taksi tersebut. Ketika
tersadar kutengok ke arah kiriku. Sebuah rumah sakit yang megah, bersih,
dan rapi ada di sisiku. Aku segera keluar dari taksi. Tak lupa
kubayarkan ongkosnya sesuai dengan argo. Dan terakhir kuucapkan terima
kasih kepada sopir taksi itu. Segera setelah taksi itu pergi, Aku masuk
ke dalam rumah sakit. Kemudian menuju ke bagian informasi untuk
menanyakan di mana ia dirawat. Setelah mendapatkan informasi, Aku pun
langsung menuju ke kamarnya. Kamarnya terletak di gedung B lantai 3 no
24. Supaya lebih cepat, Aku pun melewati jalan-jalan pintas yang ada dan
menggunakan ekskalator yang tersedia. Tak sampai sepuluh menit Aku tiba
di lantai 3 gedung B. Kini Aku hanya tinggal mencari kamarnya.
Setibanya di kamar yang bertuliskan angka 24 di
pintunya, Aku tidak langsung masuk. Dari kaca jendela kecil di pintu,
Aku melongok ke dalam. Dan ternyata ia sedang tidur. Karena Aku merasa
di dalam kamarnya tak ada siapapun, Aku memutuskan untuk masuk. Kubuka
pintu pelan-pelan agar tak mengganggu tidurnya. Kemudian Aku masuk dan
duduk di sebelah tempat ia berbaring. Kuperhatikan luka di kepalanya
sudah tampak lebih baik dengan balutan perban yang rapi. Dan selang
oksigen yang masih berada di lubang hidungnya, tangannya yang masih
penuh luka dan masih dimasuki jarum infus. Aku merasa sangat kasihan
padanya. Sehingga kuputuskan untuk segera pergi agar tidak mengganggu
istirahatnya. Setelah kutaruh roti yang kubeli tadi di sebuah meja
kecil, Aku mulai melangkah pergi. Pelan-pelan kuberjalan supaya tidak
menimbulkan suara. Namun ketika Aku akan membuka pintu, kudengar suara
lirih dan lemah memanggil namaku. Aku segera menoleh dan kulihat ia
terbangun dari tidurnya. Kubalikkkan langkahku dan berjalan
mendekatinya. Ketika ku tiba di sisi tempat ia berbaring, Aku melihat ia
menangis. Satu persatu air matanya meleleh ke pipinya. Dengan cepat,
langsung kuambil beberapa lembar tisu dan mengusapkannya dengan lembut
di pipinya. Kubelai rambutnya dan Aku berusaha memberikan rasa aman
kepadanya. Namun ia terus menangis. Tampaknya ada sesuatu yang dalam di
dalam hatinya sehingga ia menangis.
“Udah, jangan nangis lagi….” kataku kepadanya.
Namun ia tetap terisak-isak menangis. Aku berusaha
mengerti keadaan akan dirinya. Mengapa ia menangis, hingga suatu map
yang tergeletak di atas meja menarik perhatianku. Sambil terus membelai
rambutnya, Aku berusaha mengetahui isi map itu. Kubuka dari sampul depan
hingga belakang, ternyata map itu adalah rekam medisnya. Aku membaca
salah satu halaman diantara sembilan halaman rekam medis itu dan
menemukan hal yang membuatku benar-benar tidak percaya. Satu baris yang
bertuliskan: DIKARENAKAN SYARAF MATA RUSAK DAN PRESENTASE KESEMBUHAN
ADALAH KURANG DARI 20%, MAKA PASIEN DINYATAKAN TIDAK DAPAT MELIHAT TOTAL
(BUTA PERMANEN).
Ia tak dapat melihat!, tak dapat melihat apapun
lagi!, Ia buta. Dan kini Aku mengerti mengapa ia menangis. Ia tak mampu
melihat lagi, apa yang ada di sekelilingnya. Aku terus berusaha
menenangkan dirinya. Tak kupikirkan lagi siapa ia, dan apa yang telah ia
perbuat kepadaku. Yang kupikirkan sekarang adalah bagaimana caranya
memberikan harapan yang positif kepadanya. Bahwa, meski ia buta, ia
tetap dapat hidup seperti halnya orang normal lainnya. Sementara aku
terus berpikir, tanganku tak henti-hentinya membelai-belai rambutnya
secara perlahan. Hingga akhirnya ia berhenti menangis dan berbisik
kepadaku.
“Alex, maafkan diriku…, Aku telah mengkhianatimu….”
Mendengar bisikannya, Aku tak dapat berkata apa-apa. Aku tetap diam hingga ia membisikkan kembali kata-kata itu.
“Alex, maafkan diriku…, Aku telah mengkhianatimu….”
Aku tetap diam, dan ia melanjutkan bisikannya.
“Alex, maafkan diriku…, Aku telah mengkhianatimu…. Mungkin ini adalah karma yang aku terima akibat perbuatanku kepadamu.”
Setelah ia membisikkan beberapa kata itu kepadaku, Aku pun mulai berbicara.
“Mengenai hal itu.., janganlah kau bicarakan lagi…,
Aku juga tidak senang jika kau menganggap kejadian ini adalah karma
hasil perbuatanmu kepadaku…, Kau tahu profesiku? Aku adalah seorang
fotografer. Seorang fotografer sepertiku, mengetahui banyak hal yang
bahkan orang-orang belum mengetahuinya. Mengenai dirimu, Aku telah
mengetahuinya beberapa hari yang lalu. Sebelum kau sempat bercerita
kepadaku, Aku sudah mengetahuinya…. Aku tetap menyimpan rahasiaku ini
hingga Aku berharap kau sendiri yang dapat menceritakannya. Namun
seperti yang kau ketahui sekarang.., rupanya keadaan berubah…, Aku sudah
memaafkanku sejak lama, Aku sudah ikhlas, Aku telah rela…, karena
bagiku.., inilah jalan hidup yang harus Aku tempuh….”
Mendengar apa yang Aku katakan kepadanya, Ia kembali menangis dan berkata,
“Mengapa Kau tidak mengatakan hal itu sedari
dulu…??!!!! Mengapa Kau terus merahasiakannya hingga Aku harus menderita
seperti ini…???!!!!, Mengapaa…..??!!!!!”
Akupun terdiam sejenak dan kemudian menjawab apa yang ia tanyakan kepadaku.
“Aku menunggu kejujuranmu…, Ya, Aku hanya menunggu
kejujuranmu dan ketulusanmu… Karena secara jujur dan tulus Aku telah
menyatakan bahwa Aku sungguh mencintaimu, menyayangimu.., Hingga Aku
berpikir, demi orang yang kucintai dan kusayangi, merahasiakan suatu hal
yang penting dan pribadi dimana kejujuran dan ketulusan sangat
dibutuhkan, Aku rela menunggu…, “
Sekali lagi, mendengar apa yang Aku katakan, Ia menangis…, Kemudian ia berkata..,
“Alex, sekarang Aku ingin jujur kepadamu. Lelaki yang
bersamaku itu adalah Charles. Dia adalah teman sekolahku semasa SMA
yang amat baik dan ramah kepadaku. Dari dulu ia amat menyukaiku dan
suatu ketika, saat kami berdua tak sengaja bertemu, ia menyatakan
cintanya kepadaku. Sungguh saat itu Aku bingung Alex, apa yang harus Aku
katakan kepadanya jika Aku telah memilikimu…, Hingga, karena Aku tak
ingin menyakiti perasaannya, Aku pun membalas pernyataan cintanya
kepadaku. Namun sejujurnya, Alex.., Aku masih tetap mencintaimu…,”
Akupun terdiam sejenak.., berusaha merasakan dan memikirkan apa yang ia katakan. Kemudian Aku berbisik,
“Mengapa Kau tidak jujur….? —- Setidaknya kau bisa mengatakan yang sebenarnya… Tak perlu kau berbohong…”
“Aku bingung Alex…!!!, Aku bingung…..!” Teriaknya lirih kepadaku.
“Aku sepenuhnya percaya kepadamu. Namun…,
sesungguhnya…, jauh sebelum Aku mendengar apa yang kau katakan pada hari
ini.., Aku telah rela…” Bisikku kepadanya, halus…
“Apa maksudmu, Alex….?” Tanyanya lirih kepadaku..,
Akhirnya, setelah sekian lama kutahan kata-kata itu…, kuucapkan juga meskipun lirih..,
“Maaf…, Aku harus pergi sekarang…, Aku masih
mempercayaimu, namun inilah keputusan yang harus Aku ambil. Demi
kebaikanku, demi kebaikanmu…,”
Aku pun menyandarkan tubuhnya kembali ke atas pembaringan dan mundur beberapa langkah.
“Alex, kau akan pergi meninggalkanku…? Alex…, di
manakah kau…? Alex….!!! Alex….!!! Jangan tinggalkan diriku….!!!”
Teriaknya sambil meraba-raba ke sekelilingnya mencoba meraih tubuhku.
Namun, Aku telah mundur beberapa langkah dan terlampau jauh dari raihan
tangannya. Kulihat ia menangis, terus menangis, sambil terus meraba-raba
dan memanggil-manggil namaku. Aku terus melihatnya. Dalam hatiku, ada
perasaan tak tega melihatnya sekarang ini. Namun, inilah keputusan yang
harus Aku ambil demi mempertahankan kejujuran dan ketulusan hati.
Setelah sekian lama ia berbuat demikian, akhirnya ia
pun berangsur-angsur tenang. Namun, sisa-sisa tangisannya masih dapat
kudengar lirih. Dan di tengah isak tangisnya, kudengar ia berkata,
“Alex, di manapun kau berada…, jika kau mendengarku…,
Aku mohon.., maafkanlah diriku…, Aku benar-benar menyesal telah
melakukan hal itu kepadamu.., Aku benar-benar menyesal…, Alex…, Kini Aku
tak dapat berbuat apa-apa…, Alex…., Maafkan Aku Alex…….”
Aku masih beberapa langkah jauhnya dari tempat
pembaringannya. Aku terdiam sejenak. Kemudian Aku mendekat perlahan
tanpa suara, membungkuk, dan kukecup dahinya sambil berbisik…, “Aku di
sini…, Aku telah memaafkanmu. Aku telah benar-benar memaafkanmu. Kini,
Aku akan pergi, namun Aku kan tak kan melupakanmu…, Selamat tinggal…,”
Kemudian Aku pun meninggalkannya dengan perlahan,
sunyi, tanpa suara menuju pintu keluar. Hingga Aku tepat berada di depan
pintu dan bersiap keluar, Aku masih dapat mendengar suaranya.
“Alex………”
Aku menoleh ke arah pembaringannya sekali lagi
sebelum keluar meninggalkannya. Kemudian, ku buka pintu perlahan, ku
langkahkan kakiku keluar dari ruang itu dan kututup kembali pintu yang
kan mulai memisahkan antara diriku dengan dirinya. Ku arahkan diriku tuk
menuju pintu keluar rumah sakit dan berjalan ke arahnya. Dengan langkah
gontai Aku berjalan dan mengambil ke-36 foto dari dalam tasku yang
telah menjadi saksi bisu dalam hubunganku dengannya. Kulihat sekali
foto-foto itu sebelum akhirnya ku menemukan tempat sampah dan
membuangnya. Inilah kisahku sebagai seorang fotografer. Di mana sebuah
realita kan terus terungkap meskipun hanya melalui sebuah kamera.
0 komentar:
Posting Komentar